SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
Oleh: H. Ahmadi Isa
Syeikh Nawawi Al-Bantani, nama lengkapnya ialah Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi ibn Umar At-Tanari al-Bantani al-Jawi atau lebih populer dengan julukan Sayyidu ‘Ulama al-Hijaz. Dia dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. Syeikh Nawawi al-Bantani lahir tahun 1813 M, bertepatan dengan tahun 1230 H. Di ujung namanya ada tambahan at-Tanari dan al-Bantani, serta al-Jawi, ini menunjukkan tempat kelahirannya atau identitas daerah asalnya.
Melalui pelacakan geneologi, kita akan menemukan Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon serta Maulana Hasanuddin, Banten, sebagai cikal bakal Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui bapak bernama Umar ibn ‘Arabi dan ibu bernama Zubaedah, pemuda Nawawi tumbuh dalam lingkup keluarga desa yang miskin. Tetapi, selaku putra tertua dari tujuh bersaudara, pemuda Nawawi tidak hanya berpangku tangan dan bersikap fatalis di dalam kubangan sindrom keterbelakangannya.
Ayahnya yang seorang penghulu kecamatan di Tanara sedikit banyak juga ikut menyokong bagi perkembangan jiwa keagamaannya, di samping juga tekad dan kesadaran dirinya untuk tidak ikut terbawa arus kebodohan yang diciptakan oleh kaum penjajah Belanda.
Ketika bayi Nawawi pertama kali menghirup udara tahun 1813 M, cuaca agama Islam di Banten nampak begitu pengab. Segala sesuatu yang menyangkut masalah-masalah agama senantiasa memikat para penjajah untuk ikut campur tangan. Dan semenjak berakhirnya pemerintahan Sultan Banten yang pertama, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang memerintah 1550 sampai tahun 1570, maka kejayaan Islam Banten berangsur-angsur surut. Banten menjadi masa lampau yang menyimpan kenangan pahit dari kebiadaban kaum penjajah. Dan kalimaks dari kemunduran itu adalah ketika raja Banten terakhir, yang bernama Pangeran Ahmad, ditangkap dan diasingkan oleh Raffles ke Surabaya. Kerajaan Banten dihapuskan, dan Banten menjadi monumen dari sejarah perkembangan Islam yang tidak pernah patah, secara tetap hadir dalam pentas perjuangan melawan kaum penjajah.
Di dalam suasana yang muram seperti itulah Nawawi tumbuh. Suatu iklim sinkretisme menjamur dan tumbuh subur. Suatu iklim warisan tradisi dan nilai-nilai keagamaan bercampur di dalam carut marut keanekaragaman, Kesemuanya itu harus dilewati oleh Nawawi, dengan mengambil nilai-nilai positif dari hazanah tradisi yang ada serta prinsip-prinsip agama Islam secara bijak. Dan itu jelas tidak gampang. Masa kecil Nawawi harus menghadapi seluk beluk dan tata pikir masyarakatnya yang kusut serta beban feodalisme yang diwariskan oleh para pemimpin sebelumnya. Dengan dibimbing bapaknya, Nawawi menempuh berbagai rintangan dan menguak kendala demi kendala. Dia tidak hanya belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga pembenahan akhlak dan kearifan.
Sejak kecilnya Nawawi memang gemar mempertanyakan hal-hal yang sifatnya “rawan” menurut kacamata agama Islam. Sebagai contoh, Nawawi pernah mempertanyakan soal-soal ketuhanan kepada bapaknya, sekaligus minta dijelaskan prinsi-prinsip tauhid. Begitu juga dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain, seperti fikih, bahasa Arab, dan tafsir. Bocah Nawawi begitu tekun mempelajarinya. Kesemua itu jelas membedakan antara dirinya dengan anak-anak sebaya di daerahnya. Keistimewaan yang tumbuh dari pribadi biasa, tetapi terus menerus diasah dengan tekun, pada gilirannya membuka jalan seluas-luasnya bagi Nawawi. Melalui minat yang besar untuk mengembangkan segenap potensinya, maka pemekaran mental dan keluasan wawasan di dalam pribadi Nawawi maju dengan pesat.
Keterbukaannya menerima segala macam ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bapaknya semasa kanak-kanak, serta sikap selektif dalam mencerna tradisi dari lingkungannya, membuat pribadi Nawawi menjadi menarik, dengan berbekal didikan bapaknya sendiri, Nawawi mulai belajar kepada beberapa Kiyai yang berpengaruh saat itu, seperti Kiyai Sahal dari Banten dan Kiyai Yusuf dari Purwakarta. Kesemuanya itu dia lakukan pada waktu umurnya belum mencapai 15 tahun. Berkat ketekunan dan otaknya yang cerdas, maka Nawawi sanggup menyerap berbagai cabang keilmuan yang sesungguhnya lebih cocok diajarkan kepada orang dewasa.
Setelah melanglang ke berbagai wilayah di Jawa untuk berguru, maka pemuda Nawawi yang ketika itu baru berumur 15 tahun bertekad hendak melakukan ibadah haji. Dia berangkat seorang diri tanpa bekal yang cukup. Tujuannya mantap, yakni ke Masjidil Haram, Makkah. Sesampai di tempat tujuan, seusai melakukan ibadah haji, dia tergoda untuk tetap tinggal di Makkah dan menuntut ilmu. Keinginannya bulat untuk terus menuntut ilmu-ilmu agama kepada para ulama yang ada di Makkah. Dan di tanah suci itulah pemuda Nawawi bertemu dengan Syeikh Khatib Sambas, Abdul Gani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syeikh Nahrawi dan Syeikh Abdul Hamid Daghestani. Kepada ulama-ulama besar itulah pemuda Nawawi menimba ilmu. Banyak hal yang dia pelajari, mulai dari Ushuluddin, Fikih, Balaghah, sampai dengan Mantiq.
Tetapi ulama yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dan jalan pikiran Nawawi adalah Syeikh Sayyid Ahmad Nahrawi dan Syeikh Sayyid Ahmad Dimyathi. Sebab dua ulama inilah yang mula-mula membimbing Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu. Dua ulama ini pula yang membentuk karakter Nawawi dengan sikap positip di dalam menghadapi goncangan psikologis yang ada. Mengajari untuk selalu memegang nilai-nilai agama dan memantapkan prinsip akidah. Dan pemuda Nawawi banyak menemukan jati-diri dari kedua ulama ini. Sedangkan ulama lainnya ikut memberikan sumbangsih pemikiran dan membentuk kepribadian pemuda Nawawi ialah Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang mengajarnya di Makkah dan Syeikh Muhammad Khatib Hambali yang mengajarnya di Madinah.
Selama tiga tahun, pemuda Nawawi sibuk belajar dari tokoh-tokoh ulama Makkah dan Madinah, mengisi akal-budinya dengan segala corak keilmuan yang bernafaskan keagamaan, serta mempelajari pula detail sikap para ulama yang diguruinya. Dalam kesahariannya selama menempuh ilmu tersebut, selalu dia habiskan dengan membaca dan mendengarkan fatwa-fatwa gurunya. Bulan demi bulan dilaluinya dengan intensitas yang tinggi mereguk berbagai ilmu pengetahuan yang disajikan oleh guru-gurunya. Setelah tiga tahun berlalu, dia berkeinginan pulang ke Banten untuk mengamalkan segenap ilmunya. Kepada guru-gurunya, dia utarakan tentang maksudnya untuk kembali ke kampung halamannya di Banten dan berjaji akan mengamalkan berbagai ilmu yang telah diperolehnya. Oleh para gurunya, pemuda Nawawi diijinkan dan dibekali dengan doa restu.
Sesampainya di Banten, suasana masyarakat masih tetap diselimuti kabut tebal kebodohan. Ditambah lagi dengan semakin beringasnya kaum penjajah menghadapi kaum pribumi. Dalam beberapa hari sejak kepulangannya ke Banten, pemuda Nawawi sudah harus menghadapi cobaan, rintangan demi rintangan. Walaupun begitu, dia mencoba bersikap arif dan bijaksana menghadapi kekejaman penjajah. Ketika dia tengah melakukan dakwah kepada masyarakat di sekeliling kampung halamannya, gangguan dari penjajah terhadap pemuda Nawawi semakin menjadi jadi, manakala penjajah Belanda menjumpainya, bahwa pengaruh anak muda ini semakin melebar di masyarakat. kekhawatiran penjajah Belanda terhadap para ulama yang pergi ke tanah suci, tercermin lewat kunjungan Snouck Hurgronje ke Makkah khusus mengamati gerak-gerik para ulama Indonesia di sana. Hal itu terjadi antara tahun 1884 sampai 1885. Selama satu tahun penuh Snouck Hurgronje mempelajari kehidupan masyarakat Indonesia di sana dan beberapa kali mengadakan dialog dengan Syeikh Nahrawi.
Konon, Snouck Hurgronje pernah bertanya kepada Syeikh Nawawi, kenapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram. Syeikh Nawawi menjawab : “Pakaianku yang jelek dan kepribadianku yang tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang profesor berbangsa Arab”. Lalu Snouck Hurgronje melanjutkan pertanyaannya : “Banyak orang yang tidak berpengetahuan sedalam Anda, namun, bisa mengajar di sana”. Dijawab oleh Syeikh Nawawi dengan arif dan rendah hati : “Kalau mereka diijinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup pantas untuk itu”.
Dari beberapa kali pertemuan dan dialog dengan Syeikh Nawawi, serta mempelajari fatwa-fatwa dan ceramah-ceramahnya, membuar Snouck Hurgronje berkesimpulan, bahwa Syeikh Nawawi tidak membahayakan bagi Belanda. Syeikh Nawawi dinilainya sebagai seorang ulama yang dalam ilmunya, dia punya kepribadian yang luhur, tidak congkak, dan selalu bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Bahkan ilmuan Eropa ini terkagum-kagum dengan ucapan Syeikh Nawawi, yaitu : “Saya adalah debu yang lekat pada orang yang merncari ilmu”. Kekaguman Snouck Hurgronje juga nampak, ketika dia melihat Syeikh Nawawi dikerumuni muridnya untuk dimintai doa dan dicium tangannya. Beberepa kali Snouck Hurgronje menyaksikan Syeikh Nawawi sedang dimintai nasihat oleh muridnya tentang fikih, tasawuf, dan tata krama pergaulan.
Pada setiap kesempatan berdialog dengan para muridnya, Syeikh Nawawi tidak pernah mendominasi percakapan. Kalau ada muridnya yang menanyakan sesuatu, baru dia menjawab dengan cermat, dengan pikiran jernih, ditopang dengan dalil-dalil yang jelas. Dalam pergaulan sehari-hari, nampak kebijakannya dalam mengakrapi masyarakat. Setiap dia menghadiri halaqah (pertemuan) ilmiah, dia selalu menyampaikan pikirannya yang cerdas dan pandangannya yang menakjubkan, sehingga di kalangan masyakata Mesir dan sekitarnya di kala itu, nama Syeikh Nawawi semakin masyhur. Beberapa kali dia diundang dalam berbagai pertemuan ilmiah untuk menyampaikan pokok=pokok pikirannya. Dia memang seorang tokoh yang masyhur yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas dan pemikiran yang cerdas dan tajam, dia rendah hati, kehidupannya sederhana, demikian pula caranya berpakaian.
Syeikh Nawawi adalah salah seorang pemimpin umat yang mendapat penghormatan besar dan berpengaruh, ulama kharismatik, terutama di kalangan masyarakat Banten. Di Banten ini menjadi pusat tarikat, pusat pendidikan agama, dan pusat perjuangan umat Islam.
Kebesaran Syeikh Nawawi akan lebih jelas kalau diamati dari sudut pendidikan. Dia adalah seorang figur sentral, tempat rujukan berbagai pihak dalam berbagai bidang keilmuan. Dia mengutamakan pendidikan, sebab dengan ilmu akan melahirkan berbagai keutamaan. Melalui pendidikan, akan dapat dikembangkan potensi diri serta bisa untuk membersihkan jiwa dari kotoran kebodohan. Ilmu pengetahuan yang disertai dengan keyakinan, menurut Syeikh Nawawi, dapat mendekatkan hamba dengan penciptanya, antara makhluk dengan khaliknya. Melaksanakan pendidikan, menurut dia adalah ibadah, sekaligus menjadi sarana reformasi sosial.
Syeikh Nawawi, tidak hanya menguasai bahasa Arab secara fasih, tetapi juga memahami secara rinci tentang sejarah kebudayaan bangsa Arab. Dia menggali khazanah pemikiran yang sudah ada sambil terus mencari temuan baru yang lebih relevan dengan kondisi yang berlaku pada masyarakat di zamannya.
Syeikh Nawawi, dengan kepribadian yang terbentuk oleh kultur Jawa, berbaur dengan kultur Arab. Dua kultur inilah yang banyak berpengaruh dalam dirinya. Hal nampak dengan ketegasannya menghadapi murid-muridnya sebagaimana ketegasannya terhadap dirinya sendiri.
Dalam waktu singkat, pikirannya mulai mewarnai pemikiran murid-muridnya. Perkembangan pesantren di Jawa di masa lampau banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syeikh Nawawi. Buktinya, pendiri pondok-pondok pesantren itu adalah murid-muridnya.
Bisa kita catat nama-nama besar pendiri pondok-pondok pesantren yang dulu sebagai muridnya, antara lain : KH. Khalil dari Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, KH. Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah, KH. Asnawi dari Caringin, Labuan, Banten, KH. TB. Bakri dari Sempur, Purwakarta, serta KH. Arsyad Thawil dari Banten.
Prestasi Syeikh Nawawi dalam bidang pendidikan memang luar biasa. Bisa dikatakan dia adalah bapak ulama dan bapak kitab kuning bagi Indonesia. Di samping mengajarkan ilmunya, dia juga menulis beberapa karya tulisnya.
Dia adalah seorang pembaharu yang cerdas dan kokoh pendirian. Orientasi perjuangannya hanyalah mardhatillah (kerilaan Allah) dan berpijak pada doktrin jihad. Di dalam mukadimah Tafsir Munir, secerara tegas dia katakan ; “Perlu adanya pembaharuan setiap masa”. Di samping pembaharu, dia juga dikenal sebagai juru dakwah yang ulung.
Kemudian dalam bidang tarikat, Syeikh Nawawi punya visi yang jelas. Di dalam kitab Bahjatul Masail yang dikarangnya, secara tegas dia katakan : “Syafi’i adalah mazhabku, dan Qadiriah adalah tarikatku”. Dia juga mengajarkan tawaswuf kepada pengikut-pengikutnya, dalam bidang ini dia lebih cendrung pada tasawuf akhlaqi.
Walaupun Syeikh Nawawi tidak mengikuti Syeikh Sambas dalam memimpin organisasi tarikat, namun, dia tidak terlepas dari pemikiran spiritual Syeikh Sambas. Syeikh Nawawi tidak menolak berbagai tarikat, selama tarikat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pemikirannya tentang tarikat, secara lebih rinci dia uraikan di dalam karya tulisnya Kasyifatus Saja. Di dalam itu dia nyatakan, bahwa di dalam melakukan ibadah, tidak hanya menitik beratkan dari segi syariat saja, tetapi juga menekankan segi tarikat dan hakikat. Ibadah, menurut dia mengandung tiga muatan, yaitu, pertama kita beribadah harus sesuai dengan ketentuan syariat, kedua, mengerjakan syariat harus bermukasyafah dengan Tuhannya, ketiga, di samping beribadah sesuai syariat dan bermukasyafah pada Allah, juga harus bermuraqabah dengan Tuhannya.
Jejak Syeikh Nawawi hingga kini masih jelas tertanam kuat dalam masyarakat Islam. Karya tulis yang diwariskannya tetap digumuli oleh para santri di seluruh pelosok nusantara, juga di negara-negara Timur Tengah, Malaysia, Thailand dan Filipina Selatan. Dari sekitar 100 karangan beliau memang kebanyakan berupa syarah (komentar) dari karangan para ulama terdahulu. Tetapi, ini bukan berarti dia tidak mempunyai pemikiran yang orisinal, karena memang demikian kecenderungan keilmuan Islam pada abad ke-13 yang masih diliputi tradisi taqlid. Tafsir Marah Labid yang populer dengan sebutan Tafsir Munir adalah karya monumentalnya yang orisinal. Menurut Karel A. Steenbrink setelah membandingkan antara tafsir Jalalain, Tafsir Baidhawi, Tafsir Munir dan Tafsir An Nur menyimpulkan bahwa karya Syeikh Nawawi jauh lebih baik dan lengkap.
Keluasan ilmunya membuat dia nampak generalis. Dalam membuat syarah mencakup kitab-kitab fikih, ilmu kalam, tasawuf maupun bahasa. Kemampuannya sebagai syarih menunjukkan ilmunya yang luas, sehingga dapat membuat Safinatun Naja karya Abdullah bin Sumair yang agak “kering” misalnya, menjadi hidup dan begitu menggairahkan pembacanya.
Syeikh Nawawi adalah seorang pendidik yang piawai. Dia adalah sang penabur benih bagi tumbuh dan pemekaran ilmu-ilmu agama di wilayah Indonesia. Setelah dengan khusyu’ mengajarkan kesalehan kepada murid-muridnya selama lebih dari tiga puluh tahun, lalu dia pun menghabiskan waktunya untuk menulis. Karya-karya tulisnya sangat banyak dan dengan bobot penalaran yang tinggi. Murid-muridnya tersebar dan tumbuh subur dengan manfaat ilmunya. Dia penabur benih kebaikan, ilmu dan keteladanan.
Pada tahun 1897 M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawwal tahun 1314 H, dia tutup usia, dalam usia 75 tahun. Nama Syeikh Nawawi tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang insan yang luar biasa. Keharuman namanya terus semerbak sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar