Kamis, 22 Desember 2011

MUHYIDDIN IBNU 'ARABI


MUHYIDDIN IBNU 'ARABI
Oleh: H. Ahmadi Isa

            Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta'i al-Andalusi. Di Andalusi (Barat) dia dikenal dengan nama Ibnu 'Arabi, tanpa alif-lam (bukan Ibnu al-'Arabi). Di samping itu, dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akbar, atau al-Kibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17 Ramadan tahun 560 H./28 Juli 1163 M. di Mercia, dan tutup usia pada tanggal 28 Rabiul akhir tahun 638 H./16 Nopember 1240 M.
          Ibnu 'Arabi berasal dari keluarga bangsawan, hartawan dan ilmuwan di Mercia, Abadalusia Tenggara. Ketika dia berumur 8 (delapan) tahun, keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dia mulai menuntut ilmu dan belajar kitab suci Alquran, hadis dan fikih bersama sejumlah murid kepada seorang ahli fikih terkenal di Anadalusia, Ibnu Hazm al-Zahiri. Setelah Ibnu 'Arabi berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bahagian Barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar kepada beberapa orang sufi, di antaranya Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi bolak-balik atau pulang-pergi antara Hijaz, Yaman, Syria, Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 Hijriah dia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik di sana.
          Boleh dikatakan Ibnu 'Arabi telah sampai di puncak ajaran  Wahdat al-Wujud  (kesatuan wujud) yang tumbuh di kalangan para sufi dalam Islam. Dia termasuk salah seorang pemikir besar Islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain Dante, terpengaruh oleh pemikirannya, sebagaimana diketemukan Asin Palacios dalam salah satu penelitiannya. Pikirannya juga berpengaruh pada sufi sesudahnya, baik di dunia Timur maupun di dunia belahan Barat,
          Di dalam Concise Encyclopaedia of Arabic Civilizantion disebutkan jumlah karya tulis Ibnu 'Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan; dan dari buku-bukunya yang dapat ditemui hingga sekarang ada dua buah yang sangat terkenal dan menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam. Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan, kitab Al-Futuhat al-Makkiyah, dan Fusus al-Hikam merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin mengkaji dan meneliti ajaran tasawuf Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah adalah imla dari Tuhan dan kitabnya Fusus al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW.

Wahdah al-Wujud
          Ibnu 'Arabi di dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah menuturkan bahwa Allah adalah "Wujud Mutlak", yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apapun. Di halaman lain dari kitab itu dia menulis:  "Pertama-tama harus diketahui bahwa Allah SWT. adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatupun mendahului-Nya. Tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak berhajat kepada alam semesta".
          Allah adalah pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam tulisannya Fusus al-Hikam. Menurut Ibnu 'Arabi, ada lima tingkatan tajalli (penampakan) atau tanazzul (turun berjenjang) zat Tuhan, yaitu:
a.     Tajalli (penampakan) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk al-a'yan al-sabitah, yang disebut dengan 'Alam al-Ma'ani.
b.     Tanazzul zat Tuhan dari 'Alam al-Ma'ani kepada realitas-realitas rohaniah, yang disebut dengan 'Alam al-Arwah.
c.      Tanazzul zat Tuhan dalam rupa realitas-realitas al-Nafsiyah yang disebut dengan 'Alam al-Nufus al-Natiqah.
d.     Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk jasad tanpa materi, yang disebut 'Alam al-Misal.
e.      Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk jasad bermateri, yang disebut pula dengan 'Alam al-Ajsam al-Madiyah, dan disebut pula 'Alam al-Hissi atau 'Alam al-Syahadah.
          Lebih lanjut disebutkan bahwa peringkat pertama sampai peringkat keempat adalah martabat gaib (alam metafisik), sedang, tentu saja tingkatan yang terakhir atau kelima adalah alam fisik atau alam materi.
          Dalam teori Ibnu 'Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan                                                          dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyah (Hakikat Muhammad) atau Nur Muhammad. Ibnu 'Arabi mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama sekali tercipta (menitis) dari Nur Ilahi.
          Dr. Ibrahim Hilal menceritakan bahwa Nur Muhammad merupakan peringkat pertama dari peringkat-peringkat tanazzul (emanasi) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Dengan demikian, Nur Muhammad ada sebelum terjadinya tahapan-tahapan tajalli (penampakan) diri Tuhan, atau tanazzul (turun berjenjang) zat Tuhan seperti tersebut di atas.
          Selain Ibnu 'Arabi berpendapat bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama kali melimpah dari Tuhan, dia juga mengatakan bahwa daripada-Nyalah berasal alam ini. Juga diriwayatkan, bahwa dari Haqiqah Muhammadiyah (Hakikat Muhammad) atau Nur Muhammad ini dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya tidak ada yang maujud (ada) melainkan bersumber dari Haqiqah Muhammadiyah (Hakikat Muhammad) atau Nur Muhammad. Apabila dikatakan orang Haqiqah Muhammadiyah (Hakikat Muhammad) atau Nur Muhammad, maka ia adalah asal segala yang ada.
          Melalui keterangan di atas  dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam menurut ajaran tasawuf Ibnu 'Arabi adalah:
a.     Wujud Tuhan sebagai Wujud Mutlak, yaitu Zat mandiri yang wujud-Nya tanpa disebabkan/berhajat oleh sesuatu apapun.
b.     Wujud al-Haqiqah al-Muhammadiyah sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan, dan daripadanya melimpah wujud-wujud lainnya.
c.      Bentuk-bentuk al-A'yan al-Sabitah (wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut 'Alam al-Ma'ani.
d.     Realitas-realitas rohaniah (wujud-wujud rohani) yang disebut dengan 'Alam Arwah.
e.      Realitas-realitas al-Nafsiyah (wujud-wujud jiwa) yang disebut 'Alam al-Nufus al-Natiqah.
f.       Wujud-wujud jasad tanpa materi yang disebut dengan 'Alam al-Misal.
g.     Wujud-wujud jasad bermateri yang disebut dengan 'Alam al-Ajsam al-Madiyah atau 'Alam al-Syahadah.
          Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa jika Ibnu 'Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam ini berasal "dari tiada kepada ada", min al-'adam ila al-wujud (creatio ex nihilo). menurut Ibnu 'Arabi, asal segala yang ada (alam) ini adalah emanasi Tuhan yang terus-menerus. Dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah, dia berkata: "Maha suci Dia yang menjadikan segala sesuatu, dan Dialah 'ain segala sesuatu itu". Karena itulah, Dr, Ahmad Amin menyimpulkan paham tasawuf Ibnu 'Arabi sebagai berikut: "Alam dalam bentuknya yang beraneka ragam ini, tidak lain dari manifestasi wujud Allah Ta'ala".
          H.A.R. Gibb dalam bukunya Mohammedanism, dalam kaitannya dengan hal ini, mengatakan:
          Sebenarnya pemikiran tentang kesatuan wujud (wahdah al-                                                             
wujud) ini berarti bahwa alam semesta ini adalah Tuhan. Dengan kata lain, pemikiran bahwa Tuhan berwujud dalam segala sesuatu berarti bahwa Dia memperlihatkan diri-Nya dalam rupa segala yang ada. Dia adalah alam (makhluk) semesta. Karena itu alam semesta ini adalah perwujudan Tuhan dan Tuhan adalah kenyataan alam yang tidak bisa dilihat. Alam yang sebelum wujudnya telah berevolusi untuk wujud adalah sama dengan Tuhan, dan Tuhan, setelah terjadi evolusi adalah sama dengan alam.
Sekarang dapatlah dikatakan dengan tegas bahwa teori emanasi dalam proses penciptaan alam telah mengisi dan mendasari sistem pemikiran Ibnu 'Arabi. Dr. Ibrahim Hilal mengatakan bahwa teori emanasi telah mendasari ajaran tasawuf Ibnu 'Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari Tuhan. Karena itu dapat dikatakan, sesungguhnya alam ini adalah Tuhan". Itulah sebabnya, esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedang lahirnya berupa materi hanyalah bayang-bayang, yang sebenarnya tidak ada. Ibnu 'Arabi mengatakan, sesungguhnya para muqarrabin (orang yang dekat dengan Tuhan) telah menetapkan bahwa tidak ada wujud yang sesungguhnya dalam alam ini, melainkan wujud Allah. Dan kita, meskipun ada, sesungguhnya adanya adalah dengan Dia. Sesuatu yang tergantung wujudnya pada-Nya, sebenarnya sesuatu itu dihukumkan tidak ada. Jadi adanya makhluk hanyalah bayang-bayang bagi yang punya bayang-bayang, dan merupakan gambar dalam cermin di mana wujud yang di luar cermin jualah yang sebenarnya ada. Oleh karena itu,                                                             makhluk seluruhnya hanyalah bayang-bayang belaka dari Tuhan.
          Pendapat Ibnu 'Arabi ini tampak terlukis pula dalam gubahan lirik syairnya sebagai berikut:
          Ya Allah, dari diri-Mulah asal segala sesuatu
Engkau Tuhan, mengapa Kau jadikan semuanya satu
Engkau jadikan barang yang tak berhenti adanya
Baik di tempat sempit maupun lapang, Kau ada di sana.
          Dengan demikian hanya ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu wujud Tuhan. Sedangkan  wujud yang bermacam-macam ini tidaklah menunjukkan akan pluralitas wujud yang sebenarnya. Dr. Muhammad Yusuf Musa menyimpulkan: "Keringkasan ajaran aliran ini ialah sesungguhnya tidak ada wujud kecuali wujud yang satu (Tuhan). Karena itu, Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal ini tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya". Dan Dr. Ibrahim Hilal mengatakan: "...Tetapi sebenarnya hanya ada satu wujud zat Allah. Allah dilihat dalam berbagai bentuk dan rupa melalui berbilangnya wujud yang satu itu dalam
cermin yang banyak". Dalam sebuah lirik syair diungkapkan:
          Wajah sebenarnya hanyalah tunggal, wujud-Nya
Tetapi jika kau perbanyak cermin, banyaklah ada-Nya.

Al-Insan al-Kamil
          Al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) adalah istilah yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang muslim yang telah  sampai ke peringkat tertinggi, yaitu --- menurut sebahagian para sufi --- peringkat seseorang yang telah sampai pada fana' fillah (sirna di dalam Allah). Memang, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-insan al-kamil (manusia sempurna).
          Manusia, menurut Ibnu 'Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena dia adalah al-kaun al-jami', atau dia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin padanya alam besar (makrokosmos); dan tergambar padanya sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itulah manusia diangkat sebagai khalifah. Pada manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, di mana substansi Tuhan dengan segala sifat dan asma'-Nya tampak padanya. Dia adalah sebuah cermin yang menyingkapkan wujud Allah SWT. Kita punya sifat yang kita sifatkan dengan sifat Allah, wujud kita adalah sebenarnya wujud-Nya. Apabila kita perlu wujud, maka wujud kita adalah mazhar (manifestasi) dari wujud Allah.
          Kemudian, kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian Ibnu 'Arabi di dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makkiyah adalah bahwa segala benda-benda alam ini, dari yang terbesar sampai kepada yang terkecil selalu ada bandingannya dalam diri manusia. Barangkali itulah sebabnya manusia disebut dengan "alam kecil" (mikrokosmos) dan alam semesta disebut dengan "alam besar" (makrokosmos). Muhammad Gallab merumuskan  pendapat Ibnu 'Arabi ini sebagai berikut: "Manusia yang disebut dengan alam kecil adalah roh alam semesta atau alam besar".
          Pendapat Ibnu 'Arabi bahwa manusia adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan paling sempurna, dengan jelas dapat dilihat dalam ungkapan syairnya:
          Jika Tuhan tidak ada dan kita tidak ada
Maka tidaklah ada semua yang ada
Saya menyembah Tuhan yang sebenarnya
Allah lah Tuhan kami yang sesungguhnya
Ketahuilah, saya adalah 'ain wujud-Nya
Meskipun saya berkata, saya adalah manusia.
          Menurut Ibnu 'Arabi, pada manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam semesta. Dia adalah perwujudan Zat yang suci dengan segala sifat dan asma'-Nya. Dia adalah sebuah cermin di mana Tuhan menampakkan diri-Nya dan oleh karena itu, manusia adalah penyebab terakhir dalam penciptaan".
          Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam sistem (tasawuf) Ibnu 'Arabi adalah ajaran tentang al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna). Menurut ajaran tersebut, manusia sebenarnya adalah gambaran wujud Tuhan sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya ciptaan-Nya. Adanya manusia adalah untuk menunjukkan akan kesempurnaan Tuhan dalam alam semesta dan untuk mencerminkan kebesaran-Nya.
          Sekarang, yang dimaksud dengan al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) menurut Ibnu 'Arabi, seperti yang tersebut di dalam kitabnya Fusus al-Hikam adalah :
'Ain al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq (Tuhan) 'ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan 'ain (zat)-Nya karena ia hanya perwujudan sebagian asma'-Nya, bukan Tuhan bertajalli (menampakkan) diri pada sesuatu itu dalam bentuk zat-Nya. Dan apabila kamu berkata insan (manusia), maka maksudnya ialah al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) dalam kemanusiaannya, yaitu Tuhan bertajalli (menampakkan) diri dalam bentuk zat-Nya sendiri, itulah yang disebut dengan 'ain-Nya.
          Al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna), dalam pandangan Ibnu 'Arabi, tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad, seperti ditegaskan: "Ketahuilah, bukanlah yang dimaksudkan dengan al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna), kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Ilahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh karena itu Adam adalah esensi kehidupan dan awal kejadian manusia". Dikatakan bahwa "Nabi Muhammad SAW adalah al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) yang paling sempurna. Sedang yang dimaksud di sini ialah al-Haqiqah al-Muhammadiyah" (Hakimat Muhammad). Dan dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Hakikat Muhammad) inilah orang bisa mencapai derajat al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna).
          Menurut Ibnu 'Arabi, untuk mencapai tingkat al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) seseorang harus melalui jalan sebagai berikut:
a.     Fana', yaitu sirna di dalam wujud Tuhan sehingga seorang sufi menjadi satu dengan-Nya.
b.     Baqa', yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya, wujud Tuhanlah berada pada kesegalaan ini.
          Semua ini, menurutnya seperti disimpulkan oleh Ibrahim Hilal, merupakan upaya pencapaian ke tingkat al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna), dan peringkat itu hanya akan didapat melalui pengembangan daya intuisi atau zauq (perasaan) sufi. 



Tidak ada komentar: