IBRAHIM BIN ADHAM
Oleh : H. Ahmadi Isa
Namanya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham. Dia lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam legenda sufi, dia dikatakan sebagai seorang pengeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara ke arah Barat untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160 H./777 M. Beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium.
Mengenai identitasnya dan kisah peralihannya menjadi seorang zahid yang menjadi tema favorit para sufi yang datang kemudian, seringkali dibandingkan dengan kisah Budha Gautama. Diriwayatkan sebagai berikut :
“Ayahku dari Balkh, kata Ibrahim bin Adham, demikian diceritakan. Dia adalah salah seorang raja Khurasan. Dia amat kaya, dan mendidikku agar aku senang berburu. Ketika aku sedang berkuda bersama anjingku, kulihat seekor kelinci. Kudera kudaku ; tiba-tiba kudengar suara di belakangku : “Bukan untuk itu kamu diciptakan, bukan ini kewajibanmu.” Aku berhenti, menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak seorang pun kulihat, lalu aku menyumpah : “Semoga Allah melaknat si iblis itu!” Kudera lagi kudaku ; dan kudengar suara yang lebih jelas daripada sebelumnya : “Hai Ibrahim! Bukan untuk ini kamu diciptakan, bukan ini kewajibanmu.” Aku berhenti seraya berkata : “Aku telah disadarkan! Aku telah disadarkan Allah, Tuhan pencipta alam semesta telah mengingatkanku. Sungguh, mulai hari ini aku akan patuh kepada Allah, selama Allah memaliharaku.” Maka aku kembali kepada pengawal-pengawalku dan kutinggalkan kudaku. Aku hampiri salah seorang pengawal ayahku, kucopot jubah dan mantelnya, kuganti dengan pakaianku, lalu aku berangkat menuju Irak, berkelana dari negeri ke negeri.
Kisah ini selanjutnya memaparkan bagaimana dia mengembara dari satu tempat ke tempat lain dalam upaya menemukan jalan hidup yang halal. Akhirnya dia hidup dari hasil bekerja sebagai tukang kebun di Syria (Syam). Namun akhirnya,orang tahu juga siapa dia sebenarnya. Maka pergilah dan hiduplah dia di gurun sahara tandus. Di sana, kata Arberry, dia berkawan dengan zahid-zahid Kristen. Dari merekalah dia mendapatkan pengetahuan sejati tentang Tuhan. Ini bermakna bahwa Ibrahim bin Adham sangat berutang budi kepada zahid-zahid Kristen. Secara tersirat dia mengatakan bahwa tasawuf Islam itu terpengaruh oleh ajaran Kristen. Memang perlu penyelidikan yang mendalam tentang kebenaran pendapat Arberry tersebut, juga pendapat oreintalis-orientalis lainnya.
Ibrahim bin Adham adalah salah seorang zahid dari Khurasan yang sangat termesyhur di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dimilikinya. Dia lebih mendambakan dan menyukai memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandangannya ke negeri Syam (Syria), di mana dia hidup sebagai penjaga kebun dan menggumuli pekerjaan kasar lainnya. Suatu ketika dia ditanya : “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia nada meyakinkan menjawab : “Kupegang teguh agama di dadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri yang lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bisa memelihara kehidupan beragamaku. Sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian”.
Kemudian, di antara ucapan-ucapannya, dia pernah mengatakan : “Ketahuilah!, kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang-orang saleh, kecuali setelah kamu melewati enam pos penjagaan. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kemusyrikan dan membuka pintu gerbang kehinaan, hendaklah kamu menutup pintu gerbang hidup santai dan membuka pintu gerbang kerja keras, hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka pintu gerbang berjaga di tengah kesepian malam, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan, dan hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi tutup usia”.
Menurut suatu riwayat, dia pernah berdoa : “Ya Allah!, Engkau tahu bahwa surga tidak layak bagi diriku, walau seberat sayap agas pun. Jika Engkau lindungi diriku, berarti Engkau cinta padaku dan Engkau mudahkan bagiku dalam menaati-Mu, maka karuniakanlah surga-Mu bagi orang yang Engkau kehendaki dan cintai”.
Dalam sepucuk suratnya kepada salah seorang zahid, dia menulis :
Aku harap Anda bertakwa kepada Allah. Dia wajib ditaati. Kepada-Nyalah Anda harapkan damba. Bertakwalah kepada Allah, karena orang yang bertakwa kepada-Nya akan mulia dan agung di sisi-Nya. Dia tidak akan lapar dan tidak akan haus, dan jiwanya akan lebih mulia daripada dunia penuh pesona. Raganya tampak berada di antara bangsa-bangsa di dunia ini, namun, hatinya berada di akhirat sana. Apabila hatinya terbuai dengan pesona dunia ini, maka mata hatinya akan buta, tanpa secercah cahaya yang mampu dilihatnya. Karenanya dia akan membenci segala yang haram di dunia fana ini, dan berupaya menjauh, menhindari pesonanya”.
Demikianlah sebahagian isi surat tersebut. Kalau dicermati pula ungkapan-ungkapan sebelumnya, tampak jelas betapa dia diliputi rasa takut, sebagaimana yang dirasakan para zahid di masanya, dia berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan kebahagian hidup akhirat, dengan cara zuhud terhadap pesona dunia dan melakukan tindakan yang tidak mengenal kompromi dengan kehidupan duniawi dalam ketaatan yang dia lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar