Selasa, 06 Desember 2011

HALAL HARAM MAKANAN DALAM ISLAM


HALAL HARAM MAKANAN DALAM ISLAM
Oleh : H. Ahmadi Isa

Pendahuluan
          Makanan atau tha'am dalam bahasa Al-Qur'an adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian tha'am.
Semua ayat Al-Qur'an yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik) Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut.

Apa yang Halal Dimakan?
            Berdasarkan Ayat-ayat suci Al-Qur'an (Al-Baqarah [2]: 29 dan Al-Jaatsiyah [45]; 13), para ulama berkesimpulan bahwa pada prisipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat didalamnya juga adalah halal. Karena itu Al-Qur'an bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia (Yuunus [10] : 59).
          Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah - baik melalui Al-Qur'an maupun Rasul – sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas Dasar ini turun perintah-Nya antara lain dalam surah Al-Baqarah [2] : 168).
          Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi SAW.
          Makanan yang diuraikan oleh Al-Qur'an dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.
1.     Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara ekpslisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang. ('Abasa [80]: 23-32). Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.
2.     Adapun makanan jenis hewan, maka Al-Qur'an membaginya dalam dua kelompok besar; yaitu yang berasal dari laut dan darat.
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah (An-Nahl [16] : 14). Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) yang sudah mengapung di air tetap boleh (halal) (Al-Maa-idah [5] : 96). Halal juga "Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik di laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Ayat ini sejalan dengan penjelasan Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan : "Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya". Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun, pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Qur'an, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW.
Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Qur'an menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, kambing, dan yang sejenisnya) dan mengharamkan secara tegas babi. Namun, ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram.
Seperti yang disyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang pada surat Al-An'am [6] : 145). Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu (bangkai, darah yang mengalir atau daging babi), apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat itu yang memberikan batasan yang serupa (Al-Baqarah [2] : 173).
Imam Syafi'i misalnya, berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun, itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan dengan haramnya babi, adalah kerena ia rijs (kotor).
Walaupun ilmuan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahirnya maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun, dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memilki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul SAW sebagai penjelas kitab suci Al-Qur'an. Surat Al-A'raaf [7] : 157 melukiskan Nabi Muhammad SAW, antara lain : "Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabaits (buruk).
Nah atas dasar inilah ditemukan hadis-hadis Nabi yang mengaharamkan makanan-makanan tertentu. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di dua tempat, di darat dan di air, dan sebagainya.
    3.Makanan Olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan, bahwa minuman merupakan salah satu jenis makanan, maka atas dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup pikiran) merupakan salah satu makanan pula.
Al-Qur'an menegaskan : "Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi orang yang memikirkan" (An-Nahl [[16] : 67).
Ayat ini merupakan ayat pertama yang turun tentang makanan olahan yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya. Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan" dan jenis makanan olahan yang baik sehingga merupakan rezeki yang baik.
Pengharaman segala yang memabukkan dilakukan Al-Qur'an secara bertahap ; bermula di Makkah dari isyarat yang dibarikan ayat di atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya sisi baik dan buruk pada perjudian dan khamr yang turun di Madinah (Al-Baqarah [2] : 219); "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa yang besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dari manfaatnya". Disusul dengan larangan tegas mendekati shalat bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan (Al-Nisaa" [4] : 43) dan diakhiri dengan pernyataan tegas bahwa : "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung" (Al-Maa-idah [5] : 90).
Khamr terambil dari kata khamara yang menurut pengertian kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan dan minuman yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal dinai juga khamr.
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "parahan anggur yang mendidih atau dimasak". Abu Hanifah, Ats Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, semuanya berpendapat bahwa sesuatu yang memabukkan bila meminum banyak, selama tidak terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau banyak tidak memabukkan, maka ia dapat ditoleransi.
Pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa apa pun yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya walau bukan terbuat dari anggur, maka dia adalah haram.
Dari pengertian khamr dan esensinya seperti yang dikemukakan di atas, maka segala macam makanan dan minuman terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran dia adalah haram.

Pesan-pesan Al-Qur'an Menganai Makanan
        Ketika Al-Qur'an berbicara tentang perintah makan, Allah SWT memerintahkan agar manusia makan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
          Kata halal berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau "tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal" juga berarti "boleh". Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh. Nabi SAW. , misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila ia baru saja memakan bawang putih kecuali sudah dimasak. Memakan bawang putih itu tidak haram, tetapi Rasul tidak suka aromanya.
Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan, menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikan thayyib sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya, dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya itu adalah halal.
a.      Makanan yang sehat adalah makanan yang memilki gizi yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Qur'an disebutkan sekian banyak makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan, misalnya padi-padian, daging hewani, ikan, buah-buahan, lemak dan minyak, madu, dan lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
b.     Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebihan, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Qur'an menuntut orang tua, agar menyusui anaknya dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa menyusui yang ideal (dua tahun). Dan hadis memberikan tuntunan agar mengisi perut dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya untuk pernafasan.
c.      Aman. Tuntunan perlunya makanan yang aman, antara lain bisa adanya perintah takwa yang intinya adalah berusaha menghindar dari segala yang mengakibatkan siksa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum Tuhan di dunia yang terkait dengan makanan, misalnya adalah : siapa yang makan makanan kotor atau berkuman, maka dia akan menderita sakit.

Mengapa Ada Makanan dan Minuman yang Diharamkan


          Menurut para ahli mengatakan, bahwa makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakannya. Pendapat ini diambil dengan menyimpulkan dari menganalisis kata rijs yang disebutkan Al-Qur'an sebagai alasan untuk mengharamkan makanan tertentu, seperti meminum minuman keras, mengharamkan bangkai, darah, dan daging babi.
          Kata rijs mengandung arti "keburukan budi pekerti serta kebobrokan mental". Sehingga, apabila Allah menyebut jenia makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, maka ini berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan budi pekerti.
          Dalam hadis Rasulullah digambarkan bahwa Allah menolak doa orang yang memakan makanan yang haram, meminum minuman yang haram, berpakaian dengan pakaian yang haram, makan sesuatu dari hasil yang haram.





Tidak ada komentar: