Oleh: H. Ahmadi Isa
Ahmad Khatib lahir pada tanggal 6 Zulhijjah 1276 H atau 26 Mei 1860 M, di kota Gadang, Bukit Tinggi. Ayahnya adalah Abdul Latif, bergelar Khatib Nagari, seorang ulama dihormati di daerahnya. Ibunya bernama Limbak Urai. Kedua-duanya berpendidikan agama yang baik dan adat yang kuat.
Semula Ahmad Khatib memasuki Kweek School di Bukit Tinggi sampai tamat. Pada tahun 1287 H/1871 M bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, dia terus menetap (bermukim) di Makkah, untuk melanjutkan pelajarannya dalam ilmu-ilmu keislaman. Di Makkah, dia belajar Tafsir, Hadis, Tauhid, Fikih, Tasawuf, dan Bahasa. Di antara guru-gurunya di Makkah adalah Sayid Zaini Dakhlan, Syeikh Bakar al-Syatta, dan Syeikh Yahya al-Qabili.
Karena dia berakhlak al-Karimah, dia jujur, bekerja penuh tanggungjawab, dan berani menegakkan kebenaran, maka dia pun mendapat simpati dari berbagai pihak. Di antaranya, dia mendapat simpati dari bangsawan Arab yang berkenan mengambilnya sebagai menantu. Dia menikah dengan puteri bangsawan Arab Makkah tersebut pada tahun 1296 H/1879 M. dan tidak lama sesudah itu, dia mulai mengajarkan ilmunya. Dia mulai memberikan pelajaran di rumahnya kepada murid-muridnya dengan jumlah yang terbatas. Setelah beberapa lama, muridnya semakin bertambah, dia mendapat izin mengajar di Masjid al-Haram.
Semenjak dia mengajar di Masjid al-Haram, dia semakin termesyhur, dan semakin dihormati di tanah Hijaz. Kemudian dia diangkat oleh Pemerintah di sana untuk menjabat Imam dan Khatib tetap di Masjid al-Haram. Dengan demikian, dia disejajarkan dengan pejabat tinggi negara, dan berperan dalam hubungan internasional atau antar bangsa.
Meskipun dia sudah menjadi orang besar, namun, dia tetap rendah hati, hidup sederhana, dan mau menyantuni siapa saja yang datang kepadanya. Dia amat sayang dan cinta kepada keluarganya, dan tinggi rasa kebangsaannya. Kecintaan itu tampak dalam hubungan dengan murid-muridnya yang berasal dari Indonesia dengan memberikan pendidikan penuh kasih sayang, sehingga terjalin hubungan yang akrab antara dia dengan murid-muridnya. Dia bersedia dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan dia menulis buku untuk menjawab beberapa masalah yang diajukan kepadanya, dan selanjutnya buku itu dapat dijadikan sebagai rujukan dalam berbagai bidang ilmu, seperti fikih, tasawuf, dan lain-lain.
Ahmad Khatib mempunyai sejumlah murid dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Di antara muridnya yang terkenal di Indonesia ialah Muhammad Jamil Jambek, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, Taher Jalaluddin, Muhammad Thaib Umar, Abdullah Ahmad. H. Abdul Karim Amrullah, H. Agus Salim, H. Muhammad Basuni Imran, dan H. Abdul Halim.
Ahmad Khatib tidak bosan-bosannya mengajar, sampai dia tutup usia. Dia tutup usia pada tanggal 9 Jumadil Awal 1334 H bertepatan dengan 14 Maret 1916 M di Makkah al-Mukarramah.
Ahmad Khatib meninggalkan sejumlah karya tulis, antara lain :
1. Al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi Izalati Hunafat ba’dh al-Muta’asshibin,
2. Al-Saif al-Battar fi Mihaqq Kalimat Ba’dh Ahl al-Ightirar,
3. Izhar Zughal al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shiddiqin.
Dia adalah pengamal dan pengamat tasawuf dan tarikat, keduanya dia lakukan dengan sangat kritis. Tasawufnya adalah tasawuf akhlaqi, tasawuf yang mendasarkan ajarannya pada akhlak mulia.
Dia sarankan bagi seseorang yang ingin menkaji tasawuf, maka sebaiknya, dia mempelajari secara seksama empat kitab berikut ini :
1. Al-Risalah al-Qusyairiyah,
2. ‘Awarif al-Ma’arif,
3. Qut al-Qulub, dan
4. Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Kitab-kitab ini menurut Ahmad Khatib amat bermanfaat memberi petunjuk dan membedakan antara tasawuf yang benar dan tasawuf yang keliru. Melalui kitab ini pengarangnya mengajak kita untuk meningkatkan akhlak yang mulia, memperkuat taat kepada Allah SWT, melazimi berbagai ibadah, dan mendorong kita untuk menegakkan kebenaran.
Menurut Ahmad Khatib, tasawuf yang benar ialah tasawuf yang sesuai dengan Alquran dan Sunah, tasawuf yang memperkuat akidah dan menegakkan ibadah serta mewujudkan akhlak mulia. Ajaran tasawuf dan tarikat yang bertentangan dengan Alquran dan Sunah harus ditolak. Ahmad Khatib menentang ajaran tarikat Naqsyabandiyah yang menurut dia bertentangan dengan Alquran dan Sunah.
Dikoreksinya ajaran tasawuf dan tarikat yang menyimpang. Hal itu dilakukannya tanpa pamrih dengan maksud meluruskan kembali ajaran tasawuf dan tarikat, dan mengembalikannya ke arah kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar