HARIS AL-MUHASIBI
Oleh: H. Ahmadi Isa
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Dia dilahirkan di Basrah pada tahun 165 H./781 M. Ketika masih kecil dia pindah ke Bagdad, di sana dia belajar hadis dan teologi (Ilmu Kalam), bergaul akrab dengan para tokoh terkemuka dan menyaksikan peristiwa-pristiwa penting pada masa itu. Dia meninggal di sana pada tahun 234 H./857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya berpengaruh kuat dan luas kepada para sufi sesudahnya, khususnya kepada Imam al-Ghazali. Banyak buku-buiku dan risalah yang ditulisnya, dan masih dapat ditemui sampai kini, yang penting di antaranya adalah karya tulisnya yang berjudul Al-Ri'ayah li Ruquq al-Insan.
Haris al-Muhasibi adalah seorang ulama yang masyhur dalam ilmu usul dan ilmu akhlak, di samping itu, dia juga terkenal sebagai seorang guru yang kenamaan di Bagdad.
Menurut al-Taftazani, dalam kalangan sufi, barangkali dialah yang pertama kali membahas masalah akhlak dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, sabar, rela, tawakal, takut, dan lain sebagainya. Dan dia adalah salah seorang sufi yang memadukan antara ilmu syariat dengan ilmu hakikat.
Haris al-Muhasibi digelari al-Muhasibi, karena dia suka mengadakan introspeksi. Seperti telah diketengahkan di atas, dia mengarang berbagai kitab tasawuf. Sebahagian besar isinya adalah memuat analisis kehidupan kesufian ; dan hal inilah yang menjadi inti pokok kandungan kitabnya Al-Ri'ayah li Ruquq al-Insan, yang menurut Massignon, merupakan karya tulis orang Islam yang terindah tentang kehidupan esoterik dalam Islam.
Menurut al-Qusyairi, dalam hal ilmu, sifat wara' dan pergaulan Haris al-Muhasibi selalu terpelihara dengan baik, tidak ada tandingannya pada masanya. Al-Sya'rani meriwayatkan : "Dia (Haris al-Muhasibi) adalah seorang alim di antara tokoh-tokoh alirannya, yang menguasai berbagai ilmu lahir, ilmu-ilmu Ushuluddin dan ilmu akhlak. Dia mengarang berbagai karya tulis yang terkenal dan kemasyhurannya pun tidak ada tandingannya pada masanya. Bahkan lebih dari itu, dia adalah panutan kebanyakan masyarakat Bagdad."
Haris al-Muhasibi adalah pendiri aliran tasawuf Bagdad, bergabung bersamanya sufi terkenal Junaid al-Bagdadi (w. 298 H.), Abu Hamzah al-Bagdadi (w. 289 H.), Abu Husain al-Nuri (w. 295 H.), Surri al-Saqti (w. 253 H.), dan para sufi lainnya.
Menurut A. J. Arberry, sebahagian besar karya tulis Haris al-Muhasibi berkaitan dengan disiplin diri, dia digelari al-Muhasibi (telaah diri), karena dia selalu menelaah terhadap dirinya (introspeksi). Sedangkan karya tulisnya Al-Ri'ayah li Ruquq al-Insan secara khusus berpengaruh besar pada pemikiran Imam al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) dalam menulis kitabnya Ihya' 'Ulum al-Din. Kemudiannya Al-Wasayah atau dikenal dengan Al-Nasaih, berisi nasehat-nasehat, terutama tentang tema-tema kezuhudan. Mukaddimah kitabnya ini bersifat otobiagrafis, dan ada kemungkinan telah terkandung dalam benak Imam al-Ghazali tatkala menulis karya tulisnya yang terkenal, Al-Munqiz min al-Dalal.
Haris al-Muhasibi di dalam ajaran tasawufnya cenderung melakukan analisis dengan mengunakan logika. Sebagai contoh mengenai analisisnya tentang pengertian rasa sedih, dia menjelaskan sebagai berikut : "Rasa sedih itu ada beberapa macam : rasa sedih karena hilangnya sesuatu yang keberadaannya sangat disenangi, rasa sedih karena khawatir tentang yang akan terjadi besok hari, rasa sedih karena merindukan yang didambakan bisa tercapai ternyata tidak tercapai, dan rasa sedih karena mengingat betapa diri menyimpang dari ajaran-ajaran Allah."
Ajaran tasawufnya tentang peringkat (maqamat) berupa jalan mendekatkan diri kepada Allah, dan keadaan-keadaan (ahwal) yang berkaitan dengannya, secara analitis Haris al-Muhasibi mengemukakan di dalam salah satu uraiannya sebagai berikut : "Landasan ibadah itu adalah kerendahan hati, sementara kerendahan hati itu bersumber dari takwa. Landasan takwa itu adalah introspeksi (telaah diri), sedangkan landasan introspeksi itu adalah rasa takut (khauf) dan rasa harap (raja'). Rasa takut (khauf) maupun rasa harap (raja') muncul dari pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah. Pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah itu muncul karena ingat terhadap balasan Allah. Dan ingat terhadap balasan Allah itu sendiri muncul dari penalaran pikiran serta renungan hati."
Dengan demikian, jelas, kata al-Taftazani, bahwa Haris al-Muhasibi menekankan fungsi kemampuan nalar atau akal-budi dalam upayanya memahami hikmah-hikmah perintah dan larangan Allah. Namun hendaklah akal-budi tersebut dibarengi dengan akhlak, sebagaimana ditegaskannya sebagai berikut : "Segala sesuatu mempunyai sebstansi. Adapun substansi manusia adalah akal-budi, dan substansi akal-budi adalah kesabaran."
Di sisi lain Haris al-Muhasibi membedakan pengetahuan keimanan yang teoretis dengan pengetahuan keimanan yang praktis. Bahkan dia membedakan amal lahiriah, yaitu amal-amal anggota luar, dengan amal kalbu : "Amal-amal kalbu, dalam mengkaji hal-hal gaib, lebih luhur ketimbang amal-amal anggota tubuh luar."
Haris al-Muhasibi juga mengungkapkan ajaran tasawufnya antara lain sebagai berikut : "Umat manusia yang baik adalah umat manusia yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya, dan tidak pula meninggalkan dunianya sama sekali karena akhiratnya. Sebaik-baik sikap ialah tahan menderita kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, luas belas kasihan, dan indah tutur kata, serta bersikap lemah lembut. Orang yang zalim itu akan kiamat meskipun dipuji orang, orang yang dizalimi itu selamat meskipun dicela orang. Orang yang selalu merasa puas termasuk orang kaya, meskipun dia lapar ; sedangkan orang yang selalu merasa kecewa itu termasuk orang fakir, meskipun dia mempunyai harta berlimpah."
Haris al-Muhasibi juga pernah mengatakan : "Barangsiapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muraqabah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah dan mengikuti contoh yang diteladankan oleh Rasulullah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar