AL-GHAZALI
Oleh: H. Ahmadi Isa
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi al-Syafi'i; dan lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Dia seorang Persia asli, dilahirkan pada tahun 450 H./1058 M. di suatu kampung yang bernama Gazalah, di daerah Thus, sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Khurasan (sekarang Iran), dan di sini pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./1111 M.
Ayahnya Muhammad adalah seorang pengrajin yang kerjanya memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Sehingga pada waktu itu dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisan yang ditinggalkannya. Si sufi pun menerima wasiat itu. Pada masa berada dalam pemeliharaan sufi ini, al-Ghazali sudah diajari menulis (khath). Tetapi setelah harta tersebut habis, sedangkan sufi (wali) yang hidup fakir itu tidak mampu memberikan bekal tambahan, maka al-Ghazali (Muhammad) dan adiknya (Ahmad) diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan selanjutnya. Di madrasah ini al-Ghazali mulai belajar fikih Syafi'i dan teologi (tauhid) Asy'ari dari seorang guru yang bernama Ahmad ibn Muhammad al-Zarqani al-Thusi. Dari sinilah bermulanya perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai dia tutup usia.
Lalu dia pergi ke Jurjan, dan di sini dia belajar kepada Iman Abu Nasr al-Isma'ili. Di kala itu usianya belum mencapai 20 tahun, di madrasah ini, selain dia belajar ilmu agama, juga giat mempelajari bahasa Arab dan bahasa Persia.
Tidak diketahui dengan jelas berapa lama dia berada di Jurjan itu. Setelah itu dia kembali ke Thus. Di Thus ini dia selama tiga tahun mengkaji ulang hasil pelajarannya di Jurjan, sehingga dapat dikuasainya pelajaran itu dengan baik. Selama itu dia sempat pula mempelajari tasawuf dari Yusuf al-Nassaj (w. 487 H.).
Sesudah itu al-Ghazali terus pergi ke Nisabur bersama beberapa orang temannya untuk berguru kepada Abu Ma'ali al-Juwaini (w. 478 H.) yang bergelar Imam al-Haramain, tokoh aliran Asy'ari pada masa itu yang sedang memimpin perguruan tinggi al-Nizhamiyah. Di sini al-Ghazali mendapatkan ilmu yang banyak di berbagai bidang, antara lain : fikih, ushul fikih, teologi (ilmu kalam) , logika, falsafat, metode berdiskusi. Dengan demikian, perkembangan intelektualnya mengalami masa cerah, dan kecerdasannya diakui oleh gurunya sendiri. Dia digelari gurunya dengan Bahr al-Mughriq (Samudera yang Meneggelamkan), Dengan tidak ragu Imam al-Haramain mengangkatnya sebagai dosen di berbagai fakultas pada Universitas Nizamiyah. Bahkan dia sering menggantikan gurunya di kala gurunya berhalangan, baik untuk mewakilinya dalam memimpin maupun untuk menggantikannya dalam mengajar.
Di sini pula al-Ghazali mengembangkan kariernya sebagai pengarang dengan menulis beberapa karya tulis di bidang fikih dan ushul fikih dalam mazhab Syafi'i. Karya tulis perdananya berjudul Al-Mankul fi Ilm al-Ushul. Karya tulisnya ini sangat menggembirakan bagi gurunya, al-Juwaini, meskipun sang guru merasa iri kepada muridnya, seperti terlukis pada perkataannya ; "Anda sampai hati menguburku padahal aku masih hidup ; apakah anda tidak sabar menunggu sampai aku tutup usia ?”. Di sini pula al-Ghazali sempat belajar tasawuf dari Abu Ali al-Fadhal ibn Ali al-Farmadhi (w. 477 H.), dia pelajari ilmu ini dari segi teori dan dia upayakan pula mempraktekkannya. Dengan demikian, selama dia berada di Nisabur, al-Ghazali benar-benar menjadi seorang inteliktual dengan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berkembang di kala itu ; ditambah pula dengan kemampuannya dalam mendiskusikannya bersama para inteliktual lainnya, dan menuliskannya dalam bentuk karya tulis ilmiah.
Pada tahun 478 H./1085 M., al-Ghazali meninggalkan kota Nisabur pergi ke Mu'askar, karena gurunya yang sangat berjasa bagi perkembangan inteliktualnya, al-Juwaini, meninggal.
Dia menetap di Mu'askar selama kurang lebih lima tahun. Dikatakan, pindahnya al-Ghazali ke sana adalah atas permintaan Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang sangat tertarik kepadanya. Dia diminta untuk memberikan pengajian tetap sekali dua minggu di hadapan para pembesar dan para pakar. Di samping kedudukannya sebagai penasihat Perdana Menteri.
Dalam kesempatan al-Ghazali berada di Mu'askar, dia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan itulah, agaknya, al-Ghazali mulai muncul sebagai ilmuan yang berpengetahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484 H./1091 M., dia diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Bagdad. Tetapi kedudukannya ini tidak lama dipegangnya, meskipun dari sana keharuman namanya tersebar ke mana-mana melalui tulisan-tulisannya, baik dalam ilmu fikih --- bidang keahlian pokoknya --- maupun melalui tulisan-tulisannya di bidang filsafat, teologi dan lain sebagainya.
Di sela-sela kegiatannya dalam mengajar, al-Ghazali juga berkesempatan mempelajari falsafat secara mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahun secara otodidak (belajar sendiri), dia sudah dapat menguasai segala aspek falsafah Yunani, terutama yang sudah diolah oleh para filosof Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawaih (w. 431 H.), dan mereka yang bergabung dalam "Ikhwan al-Shafa". Penguasaan al-Ghazali terhadap falsafah terbukti dengan sebuah karya tulisnya yang berjudul : Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para Filosof), yang isinya menyerang tiga pokok ajaran falsafat Yunani, yaitu logika, matematika, dan fisika, dia tulis dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga menurut penilaian Sulaiman Dunya, buku ini betul-betul bisa memudahkan bagi para pemula pengkaji falsafah Yunani dalam mempelajarinya, karena dia tulis secara sistematis dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Karya tulis al-Ghazali yang kedua tentang falsafah adalah : Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosuf). Reputasinya di bidang falsafah ini menambah dia terkenal, karena memang belum ada seorang pun di masanya yang mampu menyerang pemikiran para filosof dengan senjata mereka sendiri, yaitu logika.
Selain itu, al-Ghazali tetap mendalami bidang fikih dan ilmu kalam (ilmu tauhid), sesuai dengan mata kuliah yang diasuhnya, sehingga keluarlah pula beberapa karya tulisnya dalam bidang tersebut, antara lain : Al-Wajiz (Ringkasan), Al-Wasith (Pertengahan), dan Al-Basith (Sederhana) dalam bidang fikih. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Moderasi dalam Akidah), di bidang Ilmu Kalam.
Selama periode Bagdad, al-Ghazali menderita kegoncangan batin sebagai akibat dari sikap keragu-raguannya. Dalam puncak keragu-raguannya ketika dia berada di Bagdad itu, pertanyaan yang selalu membentur di hatinya adalah, apakah pengetahuan yang hakiki itu?, apakah ia diperoleh melalui indera atau melalui akal?, ataukah dengan jalan lain?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran pengetahuan manusia. Pertama-tama dia meragukan semua pengetahuan yang telah dicapai manusia pada masanya. Keraguan ini, seperti diceritakannya sendiri di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan), yang dia tulis sekitar tahun 501 H., hampir dua bulan lamanya, dan selama itu, katanya, hampir seperti kaum safsatah, seperti orang linglung. Tetapi untunglah, akhirnya Allah SWT berkenan menyembuhkan penyakit keraguannya itu. Ini terjadi, demikian pengakuan al-Ghazali, tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, tetapi dengan Nur yang diberikan Allah Swt yang tercurah ke dalam kalbunya.
Al-Ghazali meninjau kembali jalan hidup yang selama ini dilaluinya. Menurutnya, dia telah tenggelam dalam samudera godaan dan rintangan. Segala pekerjaannya, termasuk mengajar yang dipandang mulia, dia tinjau kembali sedalam-dalamnya. Jelas katanya, dia sedang berada di jalan yang salah, dia perhatikan berbagai ilmu yang tidak bermanfaat untuk perjalanan ke akhirat. Niat dan tujuan dalam mendidik dan mengajar, menurutnya, tidak sebenarnya ikhlas karena Allah SWT, tetapi dicampuri oleh motivasi ingin kedudukan dan kemasyhuran yang bersifat diniawi. Dia, katanya bagaikan sedang berdiri di pinggir jurang yang sangat curam, di atas tebing yang terlampau terjal, dan nyaris terjatuh. Atau jelasnya, dia nyaris terjatuh ke dalam neraka dan akan segera tercampak ke dalamnya, jika tidak mau mengubah sikap kehidupannya.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya timbullah keinginan dalam dirinya hendak meninggalkan kota Bagdad dengan segala kemewahannya. Namun, kemudian dia urungkan karena masih ragu. Keinginan di waktu pagi untuk menuntut kebahagiaan abadi, katanya, menjadi lemah di petang hari. Nafsu duniawi menarik dirinya ke arah kedudukan dan kemasyhuran, namun, imannya berseru: "Bersiap-siaplah kamu, umur hampir berakhir, padahal perjalananmu sangat jauh, ilmu pengetahuan dan amal yang kamu raih hanyalah diliputi kesombongan, jika tidak sekarang, kapankah kamu mempersiap diri".
Hampir enam bulan al-Ghazali terombang ambing antara memperhatikan masalah dunia dan memikirkan masalah akhirat. Akhirnya dia bertekad untuk meninggalkan kota Bagdad, ibukota Irak. Harta benda yang dia miliki habis dia bagi-bagikan, kecuali sedikit untuk bekal di jalan dan biaya anak-anaknya yang masih kecil. Dia pergi ke negeri Syam, kota Damaskus dengan niat hendak berkhalwat, bersunyi diri di dalam Masjid Jami', di kota Damaskus itu. Pada akhir tahun 488 H./1095 M. Al-Ghazali memulai khalwatnya, menghindarkan diri dari segala hiruk pikuk kegiatan manusia, mengasingkan diri di puncak menara masjid jami' itu. Tidak kurang dari dua tahun al-Ghazali berkhalwat di situ.
Karena tidak puas dengan berkhalwat di sana, maka pada akhir tahun 490 H./1098 M. al-Ghazali pergi menuju Palestina, mengunjungi Hebron dan Yerusalam. Dia berdoa di dalam masjid Bait al-Maqdis, memohon kepada Tuhan supaya diberi petunjuk sebagai yang dianugerahkan-Nya kepada Nabi. Kemudian dia mengembara di padang sahara tandus, dan akhirnya menuju ke Cairo, Mesir yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan peradaban dan kebesaran Islam setelah kota Bagdad. Dari sini dia menuju ke kota pelabuhan Iskandariyah.
Ada niatnya hendak berangkat ke Marokko untuk memenuhi undangan muridnya, Muhammad Ibn Tumart (1087-1130 M.), tetapi kemudian niatnya itu dibatalkannya dengan alasan yang tidak diketahui. Akhirnya al-Ghazali memutar haluannya, dari Iskandariyah dia tidak berlayar ke Barat menuju Marokko, tetapi ke Timur menuju ke tanah suci Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW. Demikian al-Ghazali berpetualang yang memakan waktu kurang lebih 10 tahun setelah dia meninggalkan kota Bagdad.
Pada tahun 499 H./1105 M. al-Ghazali pulang kembali ke Nisabur, dan di sini dia ditunjuk lagi oleh Fakhr al-Mulk, putera Nizam al-Mulk, untuk mengajar dan memimpin Universitas Nizamiyah di sana. Maka pada tahun itu juga dia mulai lagi mengajar di sana, tetapi dengan motivasi -- sebagaimana pengakuan al-Ghazali -- yang sangat berbeda dari motivasi mengajar di Nizamiyah Bagdad, sekitar 15 tahun sebelumnya. Tetapi kedudukan ini tidak lama ditempatinya. Dia lalu kembali ke tempat kelahirannya Thus, mendirikan dan mengasuh sebuah Khandaqah (pesantren sufi).
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di kota kelahirannya, Thus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H./19 Desember 1111 M. dalam pangkuan saudaranya Ahmad al-Ghazali.
Keistimewaan yang luar biasa dari al-Ghazali, bahwa dia adalah seorang pengarang yang sangat produktif. Karya-karyanya cukup banyak jumlahnya, tetapi karya-karyanya yang banyak itu sebagian sudah tidak dijumpai lagi, karena dibakar oleh penguasa-penguasa yang zalim di masa Tartar Mongol, dibuang ke laut oleh penguasa-penguasa di Andalusia. Sedang karya-karyanya yang masih dapat ditemukan sampai hari ini, seperti yang pernah disebutkan oleh majalah ilmiah yang bernama Islamic Literature, berjumlah 65 buah ditambah dengan 23 buah yang berbentuk brosur. Informasi tentang karya-karyanya yang hilang itu, diterangkan sebabnya oleh Syeid Nawab Ali sebagai berikut:
Dalam abad ke 13, ketika bangsa Mongol mengamuk; banyak sekali perpustakaan yang dibakar dan dihancurkan oleh bangsa yang tidak percaya Tuhan itu. Buku tafsir al-Ghazali yang terdiri dari 40 jilid ikut hilang bersama buku-buku yang lainnya. Perlu dicatat pula bahwa sebuah buku yang berjudul Sirr al-'Alamin adalah karya al-Ghazali yang isinya menerangkan bagaimana kepala-kepala negara supaya berhasil, nampaknya tidak dijumpai lagi.
Samuel M. Zwemer menyebutkan bahwa karya al-Ghazali banyak sekali --- mungkin ini yang dapat dijumpai hingga sekarang ---, mencapai 85 judul dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di dalam Tabaqat al-Syafi'iyah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menulis tidak kurang dari 60 buah buku. Al-Zabidi, komentator kitab Ihya' Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), menyebutkan bahwa al-Ghazali telah menulis tidak kurang dari 89 buah buku dan brosur.
Di antara karya-karya al-Ghazali yang dapat disebutkan di sini adalah :
a. Dalam bidang filsafat, antara lain:
1). Maqasid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para Filosuf)
2). Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosuf)
3). Al-Ma'arif al-'Aqliyah
4). Mi'yar al-'Ilm
b. Dalam bidang ilmu kalam, antara lain:
1). Al-Iqtisad fi al-I'tiqad (Moderasi dalam Akidah)
2). Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah yang Suci)
3). Qawa'id al-'Aqa'id (Kaidah Ilmu Akaid)
4). Iljam al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalam (Mengendalikan Orang dari Ilmu Kalam)
c. Dalam bidang fikih dan usul fikih, antara lain:
1). Al-Wajiz (Ringkasan)
2). Al-Wasith (Pertengahan)
3). Al-Basith (Sederhana)
4). Al-Mustasfa (Tempat Penyucian)
d. Dalam bidang tasawuf/akhlak, antara lain:
1). Ihya' 'Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)
2). Al-Munqiz min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan)
3). Minhaj al-'Abidin (Metode Para Ahli Ibadah)
4). Mizan al-'Amal (Timbangan Amal)
5). Kimiya al-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
6). Misykat al-Anwar (Cermin Cahaya-cahaya)
7). Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah Ilmu Laduni)
8). Bidayah al-Hidayah (Permulaan Petunjuk)
9). Al-Adab fi al-Din (Adab di dalam Agama)
10). Al-Arba'in fi Ushul al-Din (Empat Puluh Pokok-pokok Agama)
e. Dalam bidang-bidang lain, antara lain:
1). Yaqut al-Ta'wil fi Tafsir al-Tanzil
2). Jawahir al-Qur'an (Permata-permata al-Qur'an)
3). Al-Mustazhiri
4). Hujjah al-Haqq
5). Mufassal al-Khilaf
6). Al-Darj
7). Al-Qisthas al-Mustaqim (Sebuah Teraju yang Lurus)
8). Fatihah al-'Ulum (Pembukaan Ilmu-ilmu)
9). Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk
10). Suluk al-Sultanah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, al-Ghazali dipandang sebagai seorang penyelamat tasawuf dari kehancuran, yakni dengan mengintegrasikannya dengan fikih dan kalam hingga menjadi ajaran Islam yang utuh, yang sebelumnya masing-masing berdiri sendiri dan sering berbenturan. Upaya al-Ghazali ini, barangkali, yang membuatnya diberi kehormatan dengan sebutan Hujjah al-Islam. Karena kebesarannya ini, dalam literatur Barat, dia ditempatkan sejajar dengan St. Agustinus (354-430 M.), filosof Kristen yang mengarang buku The City of God. Bedanya ialah bahwa Agustinus tetap lengket dengan filsafat sampai akhir hayatnya, sementara al-Ghazali menempuh jalan tasawuf bagi pencarian kebenaran.
Orientalis H.A.R. Gibb, di samping mensejajarkan al-Ghazali dengan St. Agustinus, juga menempatkannya setaraf dengan Marten Luther, pembaharu agama Kristen di Eropa pada permulaan abad ke 16 Masehi. Gibb menulis tentang al-Ghazali ini sebagai berikut:
Nama yang terkait dengan revolusi (pembaharuan pemahaman agama) tadi adalah al-Ghazali (w. 1111 M.), seorang yang sederajat dengan Agustinus dan Luther dalam pandangan keagamaan dan kemampuan intelektual. Cerita tentang perjalanan spiritualnya sungguh sesuatu yang merawankan hati dan bernilai, bagaimana ia menemukan dirinya sendiri berada dalam pemberontakan melawan keruwetan para teolog dan telah berusaha mencari Realitas Tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim pada masanya, dan bagaimana akhirnya, setelah bergumul lama baik fisik, mental maupun intelektual, ia terjerembab kembali pada agnostisisme filosofis semata pada pengalaman pribadi tentang Tuhan dan (di ujung pengembaraan) ia menemukan pada jalan sufi.
Samuel M. Zwemer mengatakan,ada empat orang yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad sendiri, Imam Bukhari sebagai pengumpul hadis yang paling masyhur, Imam Asy'ari sebagai teolog terbesar dan penantang rasionalime, dan Imam al-Ghazali sebagai seorang "reformer" dan sufi. Nama yang disebutkan paling akhir ini telah meninggalkan pengaruh yang begitu luas terhadap sejarah Islam dibandingkan dengan siapapun setelah Muhammad. Boleh jadi, karena jasa dan pengaruhnya yang begitu besar itulah, maka al-Sayuti --- kutip Zwemer dan banyak kaum muslimin kata Nicholson --- mengatakan: "Seandainya setelah Nabi Muhammad ada seorang nabi, maka al-Ghazalilah nabinya".
Al-Ghazali telah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof dan batiniah --- sebagaimana diutarakannya di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dhalal ---, akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya jalan para sufi adalah perpaduan antara ilmu dan amal, sementara sebagai buahnya adalah keluhuran moral. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah ketimbang mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah dan rehabilitasi tabiat-tabiat yang tercela. Atau lebih jelasnya, al-Ghazali menulis:
Setelah itu, perhatianku kupusatkan pada jalan kaum sufi. Ternyata jalan itu tidak akan dapat ditempuh, kecuali dengan ilmu dan amal. Pokoknya harus menempuh tanjakan-tanjakan batih dan penyucian diri. Hal ini perlu untuk mempersiapkan batin, dan kemudian mengisinya dengan zikir kepada Allah. Bagiku ilmu lebih mudah dari pada amal. Maka segeralah aku memulai dengan mempelajari ilmu mereka, membaca buku-buku mereka, antara lain Qut al-Qulub karya tulis Abu Thalib al-Makki, dan buku-buku karya tulis Al-Haris al-Muhasibi dan ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan lain-lain. Dengan demikian, aku dapat memahami tujuan mereka. Penjelasan lebih jauh kudengar sendiri dari lisan mereka. Dan jelas pula bagiku bahwa hal-hal yang khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan zauq (perasaan), pengalaman dan perkembangan batin. Sangat jauh perbedaan antara mengetahui makna sehat atau kenyang dengan mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang itu. Mengalami mabuk lebih jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti mabuk ; padahal yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar suatu keterangan tentang itu. Dokter yang sedang sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia tetap sehat, tetapi dia sedang tidak sehat. Mengethui arti dan syarat-syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zuhud.
Menurut al-Ghazali, kehidupan seorang muslim dalam pengebdiannya kepada Allah SWT tidak akan dapat dicapai dengan sempurna, kecuali dengan mengikuti jalan sufi. Menurut dia, cara mendekatkan diri kepada Allah melalui beberapa tahapan (maqamat), yaitu taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma'rifah, dan ridha.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah SWT. yang tujuan akhirnya adalah diistilahkannya dengan ma'rifah. Tetapi ma'rifah menurut konsep al-Ghazali itu adalah pengembangan konsep para sufi sebelumnya. Al-Ghazali tidak hanya membicarakan ma'rifah (pengenalan) langsung terhadap Allah -sebagaimana pandangan sebahagian para sufi -, tetapi termasuk dalam pengertian ma'rifah adalah pengenalan terhadap alam semesta ini.
Menurut al-Ghazali ma'rifah bukan hanya sekedar pengenalan biasa, tetapi berupa ilmu yang tidak diragukan kebenarannya yang dia istilahkan al-ilm al-yakin (ilmu yang meyakinkan), tersingkapnya seseuatu secara jelas, tidak terdapat keraguan, tidak mungkin salah dan keliru. Dalam kesempatan lain dikatakannya : "ma'rifah adalah mengetahui rahasia Allah, dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada". selanjutnya dia jelaskan : "Sarana ma'rifah adalah kalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi". Kalbu menurutnya, bukanlah bahagaian dari tubuh yang terletak pada dada kiri manusia, tetapi berupa percikan rohaniah ketuhanan dan sebagai hakikat realitas insan. Kalbu ada dua macam, yaitu kalbu jasmani dan kalbu rohani. Menurut dia, kalbu adalah cermin, ilmu adalah pantulan gambar realitas yang ada didalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka dia tidak dapat memantulkan realitas ilmu. Yang membuat cermin kalbu kelabu adalah hawa nafsu, ketaatan kepada Allah harus berpaling dari tuntutan nafsu. Dengan berpaling dari keinginan hawa nafsu, kalbu akan cerah dan cemerlang.
Al-Ghazali berpandangan bahwa kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh para ilmuan dan filosuf. Para sufi menyaksikan sesuatu melalui nur yang dipancarkan Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Nur itu adalah kunci ilmu ma'rifah. Ma'rifah yang sebenarnya menurut al-Ghazali, didapatkan melalui ilham (iluminasi), yakni Allah memancarkan nur ke dalam kalbu seseorang agar seseorang itu mengenali hakikat Allah dan secala ciptaan-Nya. Kalbu yang bersihlah yang bisa menerima nur dari Allah. Syaratnya ialah mensucikan diri dari segala dosa dan tingkah laku tercela, selanjutnya membersihakannya dari keyakinan adanya selain Allah. Kalbu harus dilibatkan secara total berzikir kepada Allah ; akhirnya melalui semua itu, seseorang menjadi fana' (sirna) secara total tertuju pada Ilahi. Hasil yang didapatkan adalah al-Mukasyafah dan al-Musyahadah, sehingga seseorang bisa melihat melalui kalbunya terhadap malaikat dan roh para nabi, dan dari sana seseorang bisa mendengar suara-suara dan dapat mengabil menfaatnya. Akhirnya seseorang sampai ke peringkat yang begitu sangat dekat dengan Tuhan, sehingga ada yang mengiranya hulul, ittihad, atau wusul. Tetapi semua itu hanya ilusi. Kalau seseorang mengalaminya, dia hanya boleh mengatakan bahwa hal itu adalah suatu kedaan yang tidak bisa diterangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar