Kamis, 22 Desember 2011

JUNAID AL-BAGDADI


JUNAID AL-BAGDADI
Oleh: H. Ahmadi Isa

     Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan dia adalah keponakan dari Surri al-Saqti, serta teman akrab Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Bagdad pada tahun 297 H/910 M. Dia termasuk seorang tokoh sufi yang luar biasa, teguh dalam menjalankan syariat Islam, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih (ahli hukum Islam), sering memberi fatwa sesuai mazhab yang dianutnya, mazhab Abu Sauri: serta teman akrab Iman al-Syafi'i.
     Diceritrakan bahwa di antara para sufi pada masanya, Junaid al-Bagdadi adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan yang luas tentang ajaran tasawuf, dan mampu membahasnya secara mendalam, khususnya tentang paham tauhid dan fana'. Karena itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta'ifah); Sementara al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah menyebutnya sebagai Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul keluarga Junaid al-Bagdadi berasal dari Nihawan, tetapi dia lahir dan dibesarkan di Irak. Tentang riwayat pendidikannya, Junaid al-Bagdadi pernah berguru kepada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin 'Asad al-Muhasibi.
     Kelebihan Junaid al-Bagdadi dari sufi-sufi yang lain, ialah seperti yang dituturkan oleh A.J. Arberry sebagai berikut :
     Sejauh menyangkut isi dokumentasi yang dapat dipercaya, tampaknya tanggung jawab mengembangkan doktrin fana', sebagai bagian integral dari suatu teosofi yang terkoordinasi dengan baik, dimiliki oleh Junaid al-Bagdadi, murid Haris bin 'Asad al-Muhasibi, yang pada waktu-waktu kemudian disebut sebagai "Syeikh Tarikat", yang tak pelak lagi merupakan cendekiawan sejati paling tajam di antara para sufi sezamannya. Sementara yang lain sebelum dia dan sufi sezamannya meraih --- lewat kilasan-kilasan intuisi cemerlang --- salah satu puncak spiritual yang kini mulai menggoyahkan keunggulan mereka, dia seakan-akan berada di atas puncak pemikiran analitis; dengan pandangannya yang luas, dicakupnya seluruh pemandangan spekulasi mistik yang terhampar di bawahnya. Dan dengan mata seniman, disatukannyalah hal itu ke dalam pengertian dan keutuhan dalam kanvas tunggal. Dalam serangkaian surat dan risalah singkat yang kini baru diketahui, dia menguraikan dengan kata-kata renungan yang dalam dan begitu tinggi, satu sistem teosofi Islami yang konsisten, yang tentu saja masih utuh, dan yang membentuk inti perkembangan selanjutnya.
     Kemampuan Junaid al-Bagdadi untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat yang diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti dari kepercayaan gurunya dalam menyuruhnya untuk tampil di muka umum, sebagaimana diceritakan oleh R.A. Nicholson: Surri al-Saqti seringkali meminta Junaid al-Bagdadi agar berbicara di depan umum, namun demikian Junaid al-Bagdadi enggan memenuhinya, karena dia enggan menerima kehormatan seperti itu. Pada suatu hari, Jum'at, dia bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang memintanya agar mau berbicara di depan umum. Dia bangkit dan kemudian pergi ke rumah Surri al-Saqti sebelum subuh, Kemudian mengetuk pintunya, Surri al-Saqti membuka pintu dan berkata: "Engkau tidak pernah percaya kepadaku, sehingga Rasulullah SAW harus datang kepadamu”
     Dalam hubungan ini Anbnemarie Schimmel mengatakan: Seperti banyak ahli-ahli mistik yang lain. Junaid al-Bagdadi berasal dari Iran; dia dilahirkan di Wihawand, tinggal di Bagdad dan belajar fikih sesuai dengan mazhab Syafi'i. Dalam tasawuf, dia dididik oleh pamannya, Surri al-Saqti; pandangan psikologi Haris al-Muhasibi tampaknya mengesankannya, dan pengaruh al-Kharraz pada pembentukannya jelas lebih besar daripada yang telah dibuktikan sampai saat ini. Salah seorang di antara sufi-sufi temannya, al-Hadad, dikabarkan pernah mengatakan: "Seandainya akal itu berwujud manusia, dia itu adalah Junaid al-Bagdadi". Ungkapan ini menunjukkan kesungguhan, ketenangan dan ketajaman pikiran Junaid al-Bagdadi.
     Sebagaimana disebutkan di atas, ulama dalam melihat perkembangan ajaran tasawuf, khususnya setelah tampil Abu Yazid al-Busthami, terbagi kepada dua golongan, yakni kelompok yang bersikap moderat dan kelompok yang bersikap ekstrim. Dalam hal ini, Junaid al-Bagdadi dipandang sebagai sufi yang moderat. Atau dengan kata lain, dia mewakili tasawuf para fuqaha yang mendasarkan diri pada al-Qur'an dan al-Sunnah secara riil. Dalam ungkapan Junaid al-Bagdadi  berikut ini, barangkali tergambar metodenya dalam tasawuf. "Barangsiapa tidak menghafal al-Qur'an dan tidak menulis hadis, dia tidak boleh dijadikan panutan dalam masalah itu (maksudnya: tasawuf). Sebab ilmu kita ini terikat pada al-Qur'an dan al-Sunnah". "Semua jalan tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi orang-orang yang meneladani asar/hadis Nabi Muhammad SAW., mengikuti sunnahnya dan konsisten dengan jalannya. Semua jalan kebaikan terbuka baginya".
     Junaid al-Bagdadi dikenal dalam catatan sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qusyairi: Suatu ketika Junaid al-Bagdadi ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab: "Orang-orang yang mengesakan Allah (al-Muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa bandingan, dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat".
     Pengertian tauhid yang diberikan Junaid al-Bagdadi di atas tidak keluar dari pengertian yang diberikan oleh para teolog (ahli ilmu tauhid/kalam), sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandangan para sufi. Menurutnya, akal budi tidak mampu memahami itu. Sebab, "Seandainya pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran itu akan berakhir dengan kebingungan". Dan katanya pula: "Ungkapan terbaik tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakar al-Siddiq: "Maha Suci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenalNya".
     Pengertian tauhid, sebagaimana yang diberikan oleh Junaid al-Bagdadi, dan dikutip oleh banyak penulis yang datang kemudian, bahwa ia mengandung unsur utama "pemisahan yang baqa' dan yang fana'". Dengan menjadikan perjanjian azali sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Qur'an (QS.7:164-8) --- menurut tafsiran sufi ---, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya manusia dalam memenuhi perjanjian itu, dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan Tuhan dahulu kala, Junaid al-Bagdadi menulis: "Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu Adam) belum maujud (ada), tetapi sudah maujud (ada) dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah kemaujudan (keberadaan) yang lazim terjadi pada ciptaan-ciptaan Allah. Namun kemaujudan (keberadaan) ini merupakan suatu kemajuan (keberadaan)  yang hanya diketahui oleh Allah".
      Tauhid yang hakiki menurut Junaid al-Bagdadi adalah buah dari fana' terhadap semua yang selain Allah. Dalam hubungan ini dia mengatakan: "Tauhid yang sacara khusus dianut oleh para sufi adalah pemisahan yang qidam (tidak diciptakan) dari yang hudus (diciptakan)". Ketika menjelaskan sebuah hadis: "Manakala aku mencintainya, maka aku menjadi pendengarannya, hingga melaluiku ia mendengar", Junaid al-Bagdadi berkata: "Kalau demikian, maka Allah-lah yang memampukannya. Dialah yang menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya".
     Tauhid yang begini menurut Junaid al-Bagdadi, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma', menuturkan: "Suatu ketika Junaid al-Bagdadi ditanya tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas), jawabnya: "Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah, yaitu segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai, kecuali dengan membuat dirinya fana' terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya, maka seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT".
     Junaid al-Bagdadi memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diuraikan dengan akal, dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman di hadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap orang-orang sunni yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan alasan inilah dia menolak al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta dan penyatuannya dengan Tuhan. Oleh karenanya, Junaid al-Bagdadi memperhalus seni bicaranya melalui isyarat --- suatu kecenderungan yang mula-mula diprakasai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khusus pengungkapan tentang masalah kesufian. Bahasa yang indah itu lebih menutupi rahasia yang mereka maksudkan daripada membukakan makna yang sebenarnya.
     Dari pendapat Junaid al-Bagdadi di atas tampak jelas isyarat-isyarat tentang tauhid bentuk khusus yang berdasarkan kefana'an. Dan kefana'an dalam tauhid adalah pengatahuan yang dapat dicapai jiwa manusia dalam alam lain di luar alam nyata ini. Pemikiran ini tampak paralel (bersamaan) dengan paham Plato tentang telah adanya jiwa manusia dalam alam ide , sebelum turun ke dalam tubuh (alam nyata). Karena itu Plato berpendapat bahwa, "Ilmu adalah memori dan kebodohan adalah lupa". Menurut al-Tusi, pendapat Junaid al-Bagdadi tersebut berdasarkan firman Allah SWT: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, serta Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya, kami (keturunan Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal (keesaan Tuhan) ini. (QS.7:172).
     Junaid al-Bagdadi menandaskan bahwa tasawuf berarti bahwa, "Allah akan menyebabkan kamu mati (fana') dari dirimu sendiri dan hidup (baqa') di dalam-Nya". Peniadaan diri ini oleh Junaid al-Bagdadi disebut fana', sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan dalam kitab suci al-Qur'an "Segala sesuatu akan binasa/rusak kecuali wajah-Nya (Allah)". (QS.55:26-27); dan hidup dalam Dia disebutnya baqa'. Junaid al-Bagdadi menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak habis-habisnya: "Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap kemegahan yang bersifat duniawi, dan pemutusan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita". Baginya kehidupan tasawuf berarti usaha abadi manusia untuk kembali ke asal-usulnya, yang  bersumber pada Allah sebagai awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya dia bisa mencapai suatu keadaan, "di mana dia berada sebelum berada". Yakni hanya suatu keadaan perjanjian purba, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya pada saat semacam itulah orang bisa menyadari tauhid sempurna; hanya pada saat itulah ia  bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian.
     Disamping Junaid al-Bagdadi menguraikan paham tauhid dengan karakteristik (ciri-ciri) khusus bagi para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya. Cerita berikut ini dapat sedikit menggambarkan salah satu sisi ajarannya. Seorang yang baru selesai menunaikan ibadah haji, kemudian datang kepada Junaid al-Bagdadi. Al-Junaid al-Bagdadi pun berkata: "Selama saat-saat pertama kepergian anda, yakni ketika anda mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah, apakah anda juga sudah mulai menjauhi segala perbuatan dosa?". Orang tersebut menjawab: "Tidak!" Oleh karena itu, kata Junaid al-Bagdadi: "Sesungguhnya anda belum melaksanakan perjalanan (haji) tersebut. Pada setiap tahapan di tempat anda berhenti untuk bermalam, apakah anda sudah memasuki terminal-terminal, tempat perhentian pada perjalanan menuju Tuhan?" "Tidak" jawab orang itu pula. Oleh sebab itu, ujar Junaid al-Bagdadi: "Anda belum menapaki jalan setahap demi setahap. Apakah ketika anda mengenakan pakaian haji, anda sudah menanggalkan atau melepaskan seluruh sifat-sifat manusia (yang tidak terpuji) sebagaimana anda menanggalkan baju?" "Tidak!" kembali orang tersebut menjawab. Maka lanjut Junaid al-Bagdadi: "Sesungguhnya kamu tidak mengenakan baju ihram".
     Sebagian dari percakapan antara Junaid al-Bagdadi dengan seorang yang baru selesai menunaikan ibadah haji, yang kita kutipkan dalam cerita di atas, menunjukkan keteguhan Junaid al-Bagdadi memegangi syariat Islam. Dan bagaimanapun adanya, yang terang Junaid al-Bagdadi adalah tokoh penting dalam sejarah tasawuf. Hal ini mengingat pendapat-pendapatnya yang berwawasan sangat luas, sikapnya yang memadukan syariat dengan hakikat, dan dia termasuk kelompok sufi yang tidak suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan simbolis yang sulit dipahami. Bahkan dia lebih mendahulukan kesadaran ketimbang kondisi ketidaksadaran, dan lebih mendahulukan kefana'an ketimbang kebaqa'an. Dia adalah guru yang terkenal dan mempunyai murid dalam bidang ilmu tasawuf serta dia dianugerahi Tuhan dengan wawasan tentang kesempurnaan ilmu dan amal. 


Tidak ada komentar: