Rabu, 21 Desember 2011

ABDUR RAUF SINGKEL


 ABDUR RAUF SINGKEL
Oleh: H. Ahmadi Isa

            Abdur Rauf Singkel, dikenal juga dengan nama Syeikh Abdur Rauf Al-Fansuri, dia  murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Makkah dan Madinah, yaitu Syeikh Shafiuddin Ahmad Dajjani Al-Qusyasyi di Makkah, sedangkan guru sufinya di Madinah ialah Syeikh Ibrahim Al-Kurani (1616-1689 M).
          Syeikh Abdur Rauf Al-Fansuri penganut tarikat Syathariyah,  juga menguasai ilmu tasawuf, sehingga dia termasuk sufi. Walaupun menurut pengakuannya, sangat sukar mencari guru yang ahli tarikat dan guru sufi di masanya. Guru yang mampu memadukan antara ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Hanya dua gurunya di atas, guru yang dianggapnya bisa dipertanggungjawabkan dalam ilmu tersebut.
          Syeikh Abdur Rauf Al-Fansuri dibolehkan oleh gurunya memakai Khirqah, yaitu sebagai bukti dia telah lulus dalam pengujian secara suluk. Dia telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya. Selendang putih ini bukti bahwa dia dilantik sebagai Khalifah Mursyid dalam tarikat Syathariyah. Ini berarti dia boleh pula membai’at para pengikut tarikatnya. Dia diakui oleh gurunya, bahwa dia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Silsilah ini sangat penting di dalam tarikat, karena silsilah sangat menentukan sah tidaknya suatu aliran kesufian atau tarikat, sama halnya dengan fungsi sanad dalam ilmu hadist.
          Syeikh Abdur Rauf Al-Fansuri mempunyai banyak murid yang juga aktif menyebarkan tarikat Syathariyah, di antaranya ialah Syeikh Burhanuddin Ulakkan (W. 1111 H/1691 M). Di Ulakkan terdapat tiga orang yang bernama Syeikh Burhanuddin, walaupun menjadi pertikaian tentangnya, tetapi yang dimaksudkan di sini ialah Syeikh Burhanuddin III. Syeikh Burhanuddin murid Syeikh Abdur Rauf  bin Ali al-Fansuri ini berhasil mengkobinasikan ajaran Syariat Mazhab Syafi’i dengan ajaran Tasawuf orde tarikat Syathariyah di Sumatera Barat berdasar petunjuk dari gurunya yang wali Allah itu.
          Tersebarnya tarikat Syathariyah mulai Aceh melalui jalur yang tepat hingga ke Sumatera Barat menyusur hingga ke Sumatera Selatan dan berkembang pula hingga ke Cirebon, Jawa Barat. Manakala silsilahnya kita kaji dengan teliti selalu akan ada persambungan silsilah dengan Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri tersebut. Pada jalur yang lain yang berpuncak dari ulama-ulama Patani seperti Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani, Syeikh Muhammad Saleh Al-Fathani, apabila kita telusuri silsilah tarikat Syathariyah itu, maka di atasnya akan bertemulah dengan kedua ulama Makkah dan Madinah, guru dari Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al Fansuri tadi.
          Sebagai bukti tarikat Syathariyah pernah mendapat tempat yang utama, Prof. Dr. Hamka menulis dalam bukunya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao bahwa di zaman perjuangan fisik (1945-1948 M.) ada satu barisan pemberontak yang disebut Pemsyi, yaitu kependekan dari Persatuan Muslimin Syathariyah Indonesia, yang namanya turut terdaftar sebagai anggota Front Pertahanan Nasional. Buya Prof. Dr. Hamka mengatakan bahwa dia ditunjuk oleh pemuka-pemuka Minangkabau sebagai Ketua Sekretariatnya. Dia menjelaskan pula bahwa beberapa orang terkemuka, seperti Emzita, pegawai Departemen Luar Negeri Indonesia, Haji Ismail Hasan, S.H., staf khusus Menteri Penerangan RI, dan Drs. Sidi Gazalba, adalah sebagai anggotanya. Apakah Syathariyah tersebut dimaksudkan adalah tarikat Syathariyah? Kalau benar tarikat Syathariyah salah satu dari tarikar Sufi ini yang dimaksudkan, hal ini membuktikan betapa hebat dan tarikat ini di masa lalu. Juga tidaklah disangka Buya Prof. Dr. Hamka sendiri  pengikut tarikar Syathariyah.
          Di masa yang akhir seorang propagandis tarikat Syathariyah yang menerima bai’at dari Mursyidnya, ialah Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani. Dia menyusun sebuah buku tentang tata-cara tarikat ini, buku tersebut berjudul Dhiya’ul Murid fi Ma’rifati Kalimatit Tauhid , kitab ini adalah kitab yang pertama yang membicarakan tentang hal tersebut di dalam bahasa Melayu.
          Tarikat Syathariyah berkembang di Sulawesi dibawa oleh salah seorang murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al Fansuri, yakni Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Dia mengkobinasikan tarikat Syathariyah dengan tarikat lainnya, terutama tarikat Qadiriyah yang dia terima dari Syeikh Nuruddin Ar Raniri. Kemudia tarikat itu dia padukan pula dengan tarikat Naqsyabandiyah. Berikutnya Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar itu melanjutkan pula perjuangannya ke Banten. Di Banten dia kawin dengan puteri Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini semula adalah sahabatnya sekaligus sebagai muridnya. Menurut cerita, akibat dari peperangan yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri yang bernama Sultan Haji yang mendapat dukungan dari Belanda, pada saat itu Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar ditangkap oleh Belanda karena dia berpihak kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Akhirnya Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar dibuang ke Ceylon, namun, dalam tahanan dia masih sempat menjalankan berbagai kegiatan. Dia meneruskan ajaran Islam aliran Tasawuf dan tarikat, dia juga masih sempat menulis beberapa karya tulis tentang tasawuf yang dikirimnya ke Banten dan Sulawesi melalui para haji yang pulang dari Makkah yang singgah di Ceylon. Karena adanya kekhawatiran dari Belanda, dia akhirnya dibuang ke Afrika Selatan, dan di sanalah dia tutup usia.
          Setelah tokoh-tokoh penyebar tarikat Syathariyah yang bersumber dari Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al Fansuri telah tiada, namun, sampai sekarang tarikat Syathariyah masih tersebar sambung menyambung dari Syeikh ke Syeikh berikutnya yang dapat dipercaaya kebolehannya. Tarikat Syathariyah termasuk salah satu tarikat sufi yang mu’tabar, sehingga tarikat ini tidak mungkin hilang, apalagi tarikat ini sudah diakui orang kebenarannya.

















































Tidak ada komentar: