Selasa, 06 Desember 2011

PERAN PEMOTONG DALAM MENJAMIN KEHALALAN PRODUK

PERAN PEMOTONG DALAM MENJAMIN KEHALALAN PRODUK

Oleh: H. Ahmadi Isa



Peran pemotong atau penyembelih adalah sangat penting dan menentukan sekali terhadap kehalalan produk, karena menurut ketentuan syara' atau ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan orang yang melakukan penyembelihan (pemotongan) ada tiga golongan, yaitu:

Pertama; pemotong/penyembelih yang telah disepakati kebolehannya melakukan pemotongan atau penyembelihan. Kedua: pemotong yang telah disepakati dilarang melakukan pemotongan. Ketiga ; pemotong yang masih diperselisihkan kebolehannya melakukan pemotongan.

Golongan orang yang telah disepakati kebolehan penyembelihannya ialah orang yang memenuhi lima syarat, yaitu : Islam, lelaki, dewasa, berakal, dan tidak melalaikan shalat.

Golongan yang telah disepakati dilarang melakukan penyembelihan ialah orang-orang musyrik penyembah berhala. Lihat Al-Qur'an surah Al-Maa-idah [5] : 3)

Sedangkan golongan yang masih diperselisihkan melakukan penyembelihan banyak jumlahnya. Tetapi yang terkenal adalah sepuluh, yakni Ahl Al-Kitab, orang Majusi, kaum Shabi'in, wanita, anak-anak, orang gila, orang mabuk, orang yang melalaikan shalat, pencuri, dan perampok atau perampas harta orang.

1. Ahl al-Kitab. Mengenai Ahl al-Kitab, fukaha telah sependapat tentang kebolehan penyembelihan mereka berdasarkan firman Allah : makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu (Al-Maa-idah [5] : 5). Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelihan haruslah dilakukan oleh seorang yang bergama Islam, atau Alh Al-Kitab (Yahudi/Nasrani)

Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukan ke dalamnya atau tidak?. Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Nasrani (Kristen) masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat lain. Salah satu syarat lain yang telah dikemukakan adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah.

Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Al-Kitab masa kini, sebagaimana dijelaskan Al-Qur'an surat Al-An'am [6] : 118-119).

Menurut Ibnu Taimiyah, penyembelihan harus menyebut nama Allah, kalau tidak maka dinilai fasik.

Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat, pada hakikatnya sama dengan pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran, sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.

Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:

a. Ayat yang membolehkan memakan sebelihan Ahl Al-Kitab, sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam pennyembelihan, namun demikian, dihalalkan untuk kita, ini menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat yang disebut sebelum ini hanya anjuran, bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan.

b. Hadis Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui isteri Nabi Aisyah R.A., bahwa sejumlah orang bertanya kepada Nabi SAW., tentang daging yang meraka tidak ketahui apakah dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak , Nabi menjawab : "Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah. Ketika itu para penanya, penurut Aisyah, baru saja melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam)". (Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud dan An Nasa-i melalui interi Nabi Saw, Aisyah).

Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun, secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah, tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.

Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab, bahkan Syaekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal sembelihan penganut agama Budha, namun, itu bukan serta merta menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal. Karena masih ada syarat lain, yaitu "cara menyembelih", yang masalahnya diisyaratkan oleh Al-Qur'an dengan menyebut beberapa cara yang tidak direstui, seperti; Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas – kecuali yang segera disebelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang disembelih atas nama berhala (Al-Maa-idah [5] : 3).


2. Sebelihan Orang-orang Majusi dan Shabi'ah

Jumhur fukaha berpendapat bahwa sembelihan orang Majusi tidak boleh dimakan, karena mereka adalah musyrik.

Sedang fukaha yang memegangi kebolehannya beralasan dengan sabda Nabi SAW: "Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahl al-Kitab.


3. Sembelihan Orang Gila dan Orang Mabuk

Imam Malik tidak membolehkan memakan sembelihan orang gila dan orang mabuk, sedang Imam Syafi'i membolehkannya.

Sebab silang pendapat adalah persyaratan adanya niat pada penyembelihan.

Bagi fukaha yang mensyaratkan niat, maka mereka tidak membolehkan sembelihan keduanya, karena niat itu tidak bisa terjadi dengan benar dari orang gila atau orang mabuk, terutama yang kacau pikirannya.


4. Pencuri dan Perampas

Para fukaha berpendapat bahwa sembelihan kedua orang tersebut dibolehkan. Tetapi di antara fukaha ada yang melarangnya dan menganggap hewan sembelihan keduanya sebagai bangkai. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud dan Ishaq bin Rahawaih.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat bagi kita dan semua yang menikmati produk yang kita keluarkan.

Tidak ada komentar: