Kamis, 22 Desember 2011

AL-HALLAJ


AL-HALLAJ
Oleh: H. Ahmadi Isa

            Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Al-Hallaj dilahirkan pada tahun 244 H./858 M di Tur, salah satu desa dekat Baida di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah SAW.
          Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan para sufi terkenal. Pada waktu dia berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ketiga Hijriah. Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-latihan berat, dia pergi ke Basrah dan dari sini pergi ke Bagdad. Dia pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873 M sampai tahun 879 M. Bersama-sama dengan guru sufi al-Tusturi, 'Amr al-Makki dan Junaid al-Bagdadi.
          Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang Syeikh ternama, katanya, yang tidak pernah dimintainya nasihat dan tuntunannya. Dikatakan pula bahwa dia telah tiga kali menunaikan ibadah haji.
          Dalam perjalanan dan pertemuannya dengan para sufi itu, timbullah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun dia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan para sufi yang lain.
          Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqih terkemuka, Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran al-Hallaj adalah sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dia di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
          Dari Bagdad dia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Di sinilah dia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H./903 M.  dia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H./921 M. diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung potongan-potongan tubuh itu di pintu gerbang kota Bagdad. Kemudian dibakar, dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
          Dalam riwayat lain dikatakan, pada saat dia di gantung, dia dipecut seratus kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal. Tapi sebelum dipancung, dia shalat dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya ditonton oleh umat Islam.
          Farid al-Din al-Farizi menceritakan proses hukuman mati al-Hallaj --- sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Gallab --- bahwa algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni oleh orang banyak yang datang dari berbagai penjuru negeri, dan diperintahkan kepada mereka untuk melempari dengan batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan dia dijebloskan ke hukuman mati itu, yaitu Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah: "Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat". Menurut Muhammad Gallab, kalimat tersebut merupakan pengulangan terhadap kalimat yang pernah diucapkan oleh al-Syibli.
          Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, dia pun menerimanya dengan tersenyum; bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah suci itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencungkil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo dan para pembantunya, dengan permohonan kepada Allah SWT:
"Mereka semua adalah hamba-Mu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Engkau singkapkan kepada mereka apa yang Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini".
          Tokoh sufi al-Hallaj ini mendapat simpati dari pengikut-pengikutnya; dan bahkan dia dikultuskan. Sebagian berpendapat, bahwa dia tidak mati sewaktu disalib, tetapi diangkat ke langit seperti al-Masih. Sementara yang lain mengatakan, bahwa dia dibangkitkan kembali setelah empat puluh hari. Kemudian diceritakan bahwa pada tahun dibunuhnya al-Hallaj, sungai Dajlah meluap sehingga mendorong pengikutnya untuk berpendapat bahwa luapan air
tersebut adalah karena abunya yang dibuang ke sungai itu.
          Diriwayatkan, bahwa sebelum sampai ke puncak penyiksaan, seluruh tubuhnya dicabik-cabik dengan cemeti. Darah keluar dengan deras dari tubuhnya yang telah berusia 53 tahun; tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya sebagai tanda kesakitan. Al-Hallaj dengan tabah dan sangat sabar menerima siksaan itu. Salah seorang muridnya yang ada di tengah-tengah  kerumunan orang banyak ketika itu tiba-tiba berteriak histeris, melihat wajahnya yang telah memerah oleh percikan darah. Al-Hallaj menoleh kepada muridnya itu, lalu berkata: "Bukan darah, tetapi bekas air wudhu".
          Orang makin bertambah banyak datang menyaksikan eksekusi itu, termasuk al-Junaid al-Bagdadi yang meninggal tidak lama setelah al-Hallaj dieksekusi. Dua orang muridnya yang kelihatan dalam kerumunan orang banyak itu adalah Abu Bakar al-Syibli dan Abu Hasan al-Wasit. Setelah al-Hallaj mendengar teriakan histeris Abu Bakar al-Sibli, lalu dipandangnya muridnya itu dalam-dalam, kemudian berkata: "Apakah kamu membawa sajadah?" Setelah Abu Bakar al-Syibli menjawab bahwa dia membawanya, al-Hallaj meminta kepadanya untuk dihamparkan sajadah tersebut; lalu dia salat dua rakaat. Pada rakaat pertama dibacanya surah al-Fatihah dan ayat yang artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah :[2] : 155). Pada rakaat kedua, setelah membaca surah al-Fatihah, dibacanya ayat yang artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : [3] : 85)
          Al-Hallaj adalah seorang yang alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, dia adalah seorang yang hafal kitab suci Alquran dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan hadis, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya ; dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
          Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibn Nadim, tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah:
1. Al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma' al-Kulliyyah.
2. Kitab Al-Usul wa al-Furu'
3. Kitab Sirr al-'Alam wa al-Mab'us
4. Kitab Al-'Adl wa al-Tauhid
5. Kitab 'Ilm al-Baqa' wa al-Fana'
6. Kitab Madh al-Nabi wa Masal al-A'la
7. Kitab Huwa-Huwa
8. Al-Tawasih
          Kitabnya yang bernama Al-Tawasih merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga --- kata al-Taftazani --- mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Di samping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
          Riwayat hidup al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis, seperti digambarkan di atas telah banyak mendapat perhatian ulama dan pengamat tasawuf.
          Inti sari ajaran tasawuf al-Hallaj --- yang kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang-kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam ---, meliputi tiga persoalan pokok yaitu: (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan (c) Wahdah al-Adyan.

Hulul
          Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya, dia mengatakan bahwa hululnya al-Hallaj itu bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, 'Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham "kesatuan wujud" telah mulai nampak sejak hadir Abu Yazid al-Bustami dengan paham ittihadnya. Dan paham hulul al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Bustami itu. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid al-Bustami hancur, dan yang ada hanya diri Allah; sedangkan dalam hulul, diri al-Hallaj tidak hancur. Juga, dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud; sedang dalam paham hulul, ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
          Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, di samping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam (Al-Baqarah, [2], ayat 34) yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al-Baqarah : [2] : 34)
          Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri 'Isa AS. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.  Paham ini berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar bagi kaum sufi: "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya".
          Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya :
          Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya
          dengan lahut-Nya, yang cermerlang seiring bersama
          lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
          bagai si peminum dan si pemakan tampak sosok-Nya
          hingga semua makhluknya melihat-Nya
          bagaikan bertemunya dua kelopak mata.

          Dengan demikian, menurut paham tasawuf al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat keTuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
          Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusian melalui fana'. Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat keTuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair al-Hallaj mengungkapkan:
          Padu sudah roh-Mu dengan rohku jadi satu
          Bagai khamar dan air bening terpadu satu
          Dan jika sesuatu menyentuh-Mu, tersentuhlah aku
          Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.

          Nada-nada serupa juga dapat dilihat pada lirik syairnya sebagai berikut:
          Aku yang kucinta
          Dan yang kucinta aku pula
          Kami dua jiwa padu jadi satu
          Dan jika kau lihat aku
          Tampak pula Dia dalam pandanganmu
          Dan jika kau lihat Dia
          Kami, dalam pandanganmu tampak nyata.

          Lebih jelas lagi dapat dilihat dari bait-bait syairnya di bawah ini:
          Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
          bagaikan airmata menetes dari kelopakku
          Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
bagaikan roh yang hulul dalam tubuh jadi satu.

          Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud dengan hulul di situ, ialah penyatuan sifat keTuhanan dengan sifat kemanusiaan. Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakannya, hululnya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefana'an total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia, menurutnya, "sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya".
          Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegaskan: "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka bedakanlah antara kami".
          Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: "Burang siapa mengira bahwa lahut (keTuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan), ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Zat maupun sifat-Nya, berbeda dari zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya". Dan katanya pula: "....Seperti halnya nasutku (kemanusiaanku) lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya; lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya".
          Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif. Terkadang hulul dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia negasikan (meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau unsur anthropomorphisme.
          Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana'. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk menghadapi para fuqaha (ahli fikih) pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj, berciri figuratif dan bukannya riil.

Hakikat Muhammad
          Haqiqah Muhammadiyah (hakikat Muhammad), atau Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaraan-Nyalah alam ini dijadikan. Al-Hallaj lah yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini pada mulanya adalah dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Di dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis: Ta Sin. Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali. Sinar itupun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang rahasia. Yang Maha Benar memberinya nama "Ummi" untuk menghimpun citanya, "murni" karena nikmatnya kepadanya dan "makki" karena ketetapannya pada kedekatannya.
          Kemudian, katanya lagi: Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya-cahaya itu tidak ada satupun cahaya yang lebih cemerlang, gemerlap dan terdahulu dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan (Muhammad SAW). Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Dan namanya lebih terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum makhluk-makhluk lain.
          Pendeknya, Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat (kenabian) segala nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwatnya, ataupun dirinya hanyalah sebagian daripada cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya.
          Menurut al-Hallaj, kejadian Nabi Muhammad SAW terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seoran Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu: "Aku berasal dari cahaya Tuhan, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku". Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi (w.636 H.) dan 'Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili (w.811 H.) dalam ajaran tasawufnya tentang Insan al Kamil (Manusia Sempurna).
          Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al-Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonesme Plotinus, maka dalam tasawuf, teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad atau haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud (ada).

Wahdah al-Adyan (Kasatuan Agama-Agama)
          Semua agama yang ada ini pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama berbagai macam, ada Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain, semuanya hanyalah perbedaan nama, namun hakikatnya sama saja.
          Semua agama adalah agama Allah, maksudnya ialah menuju kepada Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam suatu agama bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena, itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu.
          Paham Wahdah al-Adyan (kesatuan agama-agama) ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni, pendapat al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua agama, karena dalam kasus tersebut, sumber semua agama adalah satu. Menurut al-Hallaj, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
          Tentang hal ini, 'Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana diungkapkan oleh al-Taftazani, sebagai berikut: Suatu hari aku bertengkar dengan seorang Yahudi di pasar Bagdad. Diapun kumaki: hai anjing. Ketika itu al-Husain bin Mansur (al-Hallaj) lewat dan memandangku dengan wajah geram. Dan ditegurnya: jangan kau maki anjingmu! Dan diapun langsung pergi. setelah pertengkaran itu, akupun mencari al-Hallaj. Namun ketika kutemui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Kemudian katanya: Wahai sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Karena itu barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama dengan dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Pandangan seperti ini adalah pandangan aliran Qadariyah ; aliran Qadariyah adalah kaum Majusi (penganut ajaran Zoroaster). Ketahuilah! Agama-agama Yahudi, Islam, dan lain-lain adalah sebutan serta nama yang beraneka macam dan berbeda. Akan tetapi tujuan semua agama itu tidak berbeda.
     Dengan demikian, dapat dikatakan, sekiranya Nur Muhammad merupakan asal segala sesuatu, termasuk adanya hidayah dan agama, juga semua para nabi, sejak Nabi Adam hingga Nabi Isa AS, maka semua agama yang ada kembali kepada pokok (sumber) yang sama, yakni pancaran dari suatu cahaya (nur). Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar bentuk dan sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama untuk menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara monotheisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan), atau antara iman dan kufur. Dalam hubungan ini al-Hallaj menjelaskan, sebaimana dikutip oleh 'Abd al-Hakim Hassan : "Antara kufur dan iman hanya berbeda dari segi namanya saja, sedang dari segi hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya".
     Banyak di antara para ulama tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh al-Hallaj ini, Tetapi tidak sedikit pula ulama yang sependapat dan membelanya. Pembela-pembela al-Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya.
     Menurut Nicholson, yang mereka gunakan adalah : (1) Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi dia dihukum karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Dia membuka rahasia-rahasia tentang Tuhan dengan mengetengahkan segala yang dianggap sebagai misteri tertinggi, yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. (2) Al-Hallaj berbicara di bawah pengaruh ketidak sadaran dari akstasi. Dia merasa dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi, yang dalam kenyataannya dia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi, dan (3) Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara : Ana al-Haqq, bukanlah al-Hallaj pribadi, namun, Tuhan sendiri melalui lisan al-Hallaj.



Tidak ada komentar: