Rabu, 21 Desember 2011

SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI


SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI
Oleh: H. Ahmadi Isa

        Nama lengkapnya adalah Al-Syeikh Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj al-Khalwati al-Makassari. Nama kecilnya Muhammad Yusuf. Sedang gelar Syeikh adalah gelar tradisi ahli taswuf yang menunjukkan bahwa dia telah diizinkan oleh gurunya untuk mengajar tarikat kepada orang lain. Abu al-Mahasin adalah orang yang memiliki berbagai macam kebijakan. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang sudah berputera, ataupun karena disesuaikan dengan nama aslinya, Yusuf. Nama tersebut dikaitkan dengan Nabi Yusuf yang terkenal rupawan dan memiliki kesempurnaan jiwa dan rohani serta akhlak yang terpuji. Gelar Hidayatullah (anugerah Allah), menunjukkan bahwa dia telah mencapai peringkat tertinggi dalam perjalanan suluknya menuju Tuhan dan telah mengalami fase dimana dia merasakan kefanaan dalam Allah dan kebaqaan dengan-Nya. Adapun Taj al-Khalwati (mahkota tarikat Khalwatiyah) adalah gelar yang diberikan oleh guru tarikatnya di Syam (Damaskus) setelah dia lulus dan mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu tasawuf, terutama dalam tarikat Khalwatiyah. Sedang al-Makssari, menunjukkal bahwa Yusuf adalah putera kelahiran Makassar. Dia dilahirkan di Moncong Loe Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M. bertepatan dengan tanggal 8 Syawal 1036 H.
          Ada beberapa versi mengenai asal usul keturunan Syeikh Yusuf. Menurut Tujimah pada seminar Sejarah Nasinal II di Yogyakarta 1970, menjelaskan bahwa Syeikh Yusuh berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Gowa dan Tallo. Dari garis ibu, dia adalah saudara kandung Raja Karaeng Bisei (1674-1677) dan Raja Gowa Sultan Abdul Jalil, Karaeng Sanrobone Tumenanga ri Lakiung (1677-1709).
          Sumber lain menyebut bahwa Syeikh Yusuf adalah anak Syeikh Khaidir dari Binamu. Khaidir yang dimaksud dalam hal ini adalah perwujudan dari Nabi Khaidir.
          Pendapat-pendapat tersebut di atas ditolak oleh A. Makarausu Amansyah, dan menganggapnya sebagai cerita yang dibuat-buat untuk menambah kebesaran Syeikh Yusuf. Sebab dalam Lontara diceritakan bahwa ayah Syeikh Yusuf bukan seorang bangsawan dan bukan pula saudara Sultan Kerajaan Gowa. Yusuf adalah anak dari perkawinan singkat antara seorang lelaki tua, yang tidak diketahui namanya, dia seorang petani yang rajin dan jujur, seorang putera Makassar. Dia dikawinkan dengan puteri Gallarang
Borong Loe.
          Terlepas dari benar atau tidaknya Syeikh Yusuf sebagai keturunan bangsawan, A.A. Cense cenderung mengatakan, tidak memastikannya sebagai keturunan bangsawan. Hal ini terlihat ketika Gallarang Mangasa menyampaikan pinangan Syeikh Yusuf kepada puteri Sultan, I-Sitti Daeng Nisanga, Sultan Maliku al-Said (1639-1653) menolak secara halus pinangan Syeikh Yusuf yang jatuh cinta kepada puteri Sultan dengan perkataan :
         Tamasalai, naiyajiya antu ataya, ata tonjiya, naiya  karaeng, karaeng tonjiya”. (“Tidak ada salahnya, akan tetapi hamba itu, tetap hamba dan adapun raja itu tetap raja juga”).
          Setelah pinangannya ditolak, Yusuf pun meninggalkan Gowa menuju  Ujung Pandang dengan maksud untuk naik haji ke Makkah sekaligus memperdalam ilmu pengetahuan agama yang telah diperolehnya sejak kecil. Akan tetapi, setelah Sultan membuka Lontara Makassar, dijumpai persyaratan yang memungkinkan rakyat bisa memperisteri seorang wanita yang lebih tinggi derajatnya, maka Sultan pun merestui puterinya dipersunting oleh Syeikh Yusuf. Lontara Makassar tersebut berbunyi :
        Tallui sipa nama kulle tauwa ambai neangi irateanna. Uru-uruna panritai, makaruanna barani, maka tallunna kalumannyangi namakkulle natimbangi ribalanja buttaya”. (“Ada tiga hal yang membolehkan orang kebanyakan memperisteri orang yang di atasnya. Pertama-tama dia ulama, kedua dia gagah berani, ketiga dia kaya dan berkemampuan membelanjai negara”).
          Beberapa hari setelah pernikahannya (1645), isterinya diantar kembali ke Gowa, kemudian dia berlayar dengan menumpang kapal dagang Portugis menuju Banten dimana dia sempat berkenalan dengan putera mahkota yang kelak menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Agung Tirtayasa. Dari Banten dia melanjutkan perjalanannya ke Aceh dan bertemu dengan Syeikh Nuruddin al-Raniri. Melalui Syeikh al-Raniri dia mempelajari tarikat Qadiriyah dan berhasil memperoleh ijazah. Kemudian Syeikh Yusuf melanjutkan perjalanannya ke Yaman. Di sana dia menemui Syeikh Abdullah Muhammad Abdul Baqi, dan menerima tarikat Naqsyabandiyah. Di Zibaid (Yaman) dia menerima ijazah tarikat al-Sa’adat al-Ba’lawiyah dari Sayyid Ali. Dari Yaman di ke Makkah menunaikan ibadah haji. Kemudian dia ke Madinah al-Munawwarah untuk menuntut ilmu dan menerima ijazah tarikat Syattariyah dari Syeikh Burhanuddin al-Milla ibn Syeikh Ibrahim ibn al-Husain ibn Syahbuddin al-Kurdi al-Karzani al-Madani. Selanjutnya dia ke negeri Syam (Damaskus). Di sanalah dia memperoleh ijazah tarikat Khalwatiyah dari Ibn Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi, imam masjid Syeikh Akbar Muhiddin ibn ‘Arabi. Ulama inilah yang memberikan gelar kepada Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati Hidayatullah.
          Syeikh Yusuf kembali ke Gowa setelah menimba berbagai ilmu pengetahuan agama, khususnya di bidang tarikat dan tasawuf dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan yang telah diperolehnya. Tetapi alangkah kecewanya setelah dia menyaksikan kerajaan Gowa sudah lain dari Gowa yang dahulu ditinggalkannya. Masyarakatnya telah jauh dari ajaran agama Islam. Maksiat dan kemungkaran merajalela. Tradisi-tradisi pra Islam dihidupkan kembali. Judi, sabung ayam, minum minuman keras, candu, dan madat, serta pemujaan berhala berkembang di mana-mana karena mendapat restu dari raja. Di samping faktor penyebab lainnya. yaitu adanya orang-orang kulit putih (Portugis dan Belanda) serta anak-anak raja sendiri yang ikut terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.
          Sebagai seorang ulama yang mengemban amanah amar am’ruf nahi munkar, Syeikh Yusuf mengajukan permohonan kepada raja untuk menegakkan syariat Islam dan melarang kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi raja  berkehendak lain, mala usaha nya pun sia-sia.
          Menurut Drewes, faktor penyebab yang tidak menguntungkan ini adalah Syeikh Yusuf kurang berpengaruh dalam istana Gowa, meskipun dia sendiri berasal dari keluarga istana.
          Pendapat Drewes di atas kurang beralasan. Sebenarnya, Syeikh Yusuf ditolak permohonannya oleh pembesar-pembesar kerajaan untuk menghapuskan judi, minuman keras, candu dan madat. Serta pemujaan berhala, berlatar ekonomi, politik, dan sosial. Pembesar-pembesar kerajaan melihat bahwa : Apabila judi dihapuskan, akan matilah pasar-pasar, berarti menutup sumber keuangan dan pendapatan kerajaan. Apabila minuman keras dilarang, akan hilanglah keberanian lasykar perang. Apabila madat dan candu diberantas, maka akan habislah inspirasi para ahli pikir, dan apabila berhala dimusnahkan, akan hilanglah yang membedakan antara bangsawan dan bukan.
          Syeikh Yusuf yang memandang dari segi kerohanian, menyatakan : “Inilah pangkal kejatuhan kerajaan Gowa. Gowa akan runtuh karena itu
          Setelah Syeikh Yusuf kembali ke tempat kediamannya, iapun memberikan wejangan terakhir kepada murud-muridnya dan menitipkan amanah agar ajaran tasawuf dan tarikatnya dilanjutkan dan dikembangkan di Sulawesi Selatan. Murid-murid Syeikh Yusuf yang sempat ditamatkan dan diberi ijazah di antaranya ialah : Syeikh Nuruddin Abdul Fattah, Abdul Bashir al-Dharir al-Rafani, dan Abdul Karaeng Jeno. Kemudian Syeikh Yusuf meninggalkan Gowa untuk kedua kalinya.
          Kalau kepergiannya yang pertama bertujuan untuk memperdalam ilmu pengetahuan, maka kali ini dia meninggalkan Gowa sebagai suatu protes nyata terhadap raja dan masyarakatnya yang tidak lagi mematuhi ajaran agamanya Sebagai seorang ulama dan muballigh, dia mengemban amanah suci untuk menyampaikan ajaran Islam ini ke tengah-tengah masyarakat. Untuk melaksanakan niatnya dia berlayar ke Banten. Nampaknya harapan untuk mewujudkan cita-citanya menjadi kenyataan. Sebab yang menjadi Sultan Banten adalah sahabatnya, Sultan Agung Tirtayasa (1651-1695). Di samping raja dan masyarakat Banten menaruh perhatian besar kepada agama Islam, terutama dalam bidang tasawuf dan tarikat. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Syeikh Yusuf sangat dihormati dan disayangi oleh raja dan masyarakat Banten. Sebagai suatu penghormatan dari raja, Syeikh Yusuf diangkat sebagai Mufti kerajaan dalam urusan duniawi dan penasihat dalam urusan pemerintahan, dan dijadikan pula sebagai menantu Sultan Agung Tirtayasa.
          Keterlibatan Belanda dalam perselisihan antara sultan Agung Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji, pada saat itu Belanda memihak kepada Sultan Haji, ketika peristiwa itu terjadi, terpaksa mengalihkan orientasinya kepada kegiatan yang bersifat pisik. Dia tampil sebagai seorang panglima perang mendampingi Sultan Agung Tirtayasa dalam peperangan melawan Sultan Haji yang didukung oleh Belanda. Bahkan setelah Sultan Agung Tirtayasa tertangkap, Syeikh Yusuf tetap gigih melanjutkan perang gerilya melawan Belanda hingga dia pun tertangkap dalam suatu pertempuran di Lebak pada tanggal 14 Desember 1683 dan dibuang ke Sri Langka, kemudian dia dipindahkan ke Tanjung Pengharapan.
          Selama berada dalam pengasingan, Syeikh Yusuf aktif berdakwah, mengajar, dan membuat tulisan. Karya-karya tulis Syeikh Yusuf umumnya dalam bidang pemikiran tasawuf. Sekarang dapat ditemui di Perpustakaan Meseum Pusat Jakarta. Ada dua naskan terdapat di sana. Dalam kedua naskah itu terdapat sekurang-kurangnya lima belas buah tulisan Syeikh Yusuf dalam bentuk artikel, baik yang pendek maupun yang panjang.
          Menurut Tujimah, karya Syeikh Yusuf diperkirakan berjumlah dua puluh buah dan umumnya masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan.
          Pada tanggal 23 Mei 1699 Syeikh Yusuf wafat. Dia dimakamkan di Tanah Pertanian Zandvliet distrik Stellen Bosch Afrika Selatan.
          Menurut suatu riwayat, atas permintaan Sultan Gowa, Abdul Jalil kepada kompeni, kuburannya digali kembali dan tulang-belulangnya dipindahkan ke Gowa. Jenazahnya diterima di Makassar pada tanggal 3 April 1705, dan pada hari berikutnya dimakamkan di Lakiung-Gowa yang kini lebih dikenal dengan nama Ko’bang (Kuburan berkubah).

Pemujaan Syeikh Yusuf di Sulawesi Selatan

        Latar belakang timbulnya penghormatan dan pemujaan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap Syeikh Yusuf adalah :
1.   Syeikh Yusuf dianggap sebagai orang “Suci”. Pengakuan tentang kesucian Syeikh Yusuf, biasanya dikaitkan dengan riwayat hidupnya yang penuh dengan kejadian-kejadian ajaib. Dalam naskah asli tentang “Tuanta Salamaka Syeikh Yusuf” yang ditulis dalam bahasa Makassar huruf Arab, memuat 44 kejadian ajaib yang diceritakan pengalaman Syeikh Yusuf. Anatara lain :
n  Selama Yusuf masih dalam kandungan bundanya, disaksikan adanya cahaya bersinar keluar dari pusat bundanya, dan kedengaran zikir “La ilaha illa Allah” dari dalam kandungannya.
n  Membakar rokok di tangannya dengan menenggelamkan tangannya ke dalam air.
n  Menghidupkan ikan kering di atas kapal, kemudian dilepaskannya ke dalam laut untuk mencari pisau yang terjatuh ke dalam laut itu.
n  Dalam pelayaran ke Seilon, meninggallah Yusuf dan dilabuhkanlah dia ke dalam laut. Setelah tujuh hari berlayar sampai kapal tumpangannya itu kesebuah pulau. Setelah orang turun ke darat mengambil air, di dapatinya Yusuf ada di pulau itu.
n  Setelah salat Jum’at, tafakkurlah Yusuf. Di dalam tafakkurnya itu, dikeluarkannyalah langsat dua tangkai dari lengan baju sebelah kanannya, dan dikeluarkannya buah durian 3 buah dari lengan bajunya sebelah kiri.
n  Berhasil pula bertemu dengan Sayyid ‘Abdul Qadir Jailani yang telah wafat 750 tahun lebih dahulu.
n  Berhasil bertemu dengan Abu Yazid al-Busthami yang wafat 500 tahun lebih dahulu “Guru” segala Wali.
n  Berhasil bertemu dengan Rasulullah SAW, yang menganugerahkan nama kepada Syeikh Yusuf : “Kutub al-Rabbani wa al-Arifi al-Shamadani
          huluu” yang selamat di Dunia dan di Akhirat.
n  Dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berjalan-jalan berkeliling Surga.
      Menurut Taufik Abdullah, meskipun riwayat hidup dari orang suci tidaklah dapat seluruhnya dipertanggungjawabkan menurut pandangan sejarah yang kritis-ilmiah, tetapi untuk keperluan penelitian, sejarah berbentuk riwayat mempunyai kegunaan ganda. Petama, memperkenalkan biografi, meskipun mungkin diselubungi oleh berbagai simbol kultural. Kedua, dengan mendalami selubung simbol kultural tokoh tersebut, kita akan lebih mengerti masyarakat yang melahirkannya.

2. Tersebarnya nama harum Syeikh Yusuf oleh pengikut-pengikutnya yang kembali ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran tarikat Khalwatiah. Pada tahun 1684, sejumlah orang Bugis dan Makassar, pengikut Syeikh Yusuf yang tinggal di Cirebon, Jawa Barat dipulangkan oleh Kompeni ke Sulawesi. Di samping itu, keharuman nama Syeikh Yusuf disebarkan pula oleh para jemaah haji Indonesia asal Sulawesi yang singgah di Tanjung Pengharapan sekembalinya dari menunaikan ibadah haji. Mereka membawa tulisan-tulisan Syeikh Yusuf ke Sulawesi.

3. Besarnya perhatian yang diperlihatkan oleh keluarga Raja Gowa terhadap Syeikh Yusuf. Perhatian yang harus dilihat dari tiga hal. Pertama, adanya hubungan yang erat antara Syeikh Yusuf dengan keturunan Raja Gowa. Kedua, ketika Syeikh Yusuf diasingkan, Raja Gowa sering meminta kepada pihak Kompeni agar Syeikh Yusuf dibolehkan pulang ke Sulawesi, akan tetapi Syeikh Yusuf dianggap berbahaya bagi Kompeni. Ketiga, perhatian Raja Gowa terhadap Syeikh Yusuf dapat pula dilihat setelah wafatnya, atas permintaan Sultan Abdul Jalil kepada Kompeni, kerangka jenazah Syeikh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, Gowa.

4. Adanya simpati dari kalangan orang-orang yang merasa tertarik pada renungan-renungan mistik, seperti Raja Bone, Ahmad al-Shalih Matinroe ri Rompegading (1775-1812), telah mencurahkan perhatiannya terhadap ajaran Syeikh Yusuf. Raja Bone ini mendapat gelar kehormatan “Syams al-Milla wa al-dien”, senang bergaul dengan ahli tasawuf. Karyanya dalam bidang tasawuf, di antaranya dalam bentuk saduran dan terjemahan ke dalam bahasa Bugis. Dalam naskah Vi no. 23, milik Meseum Nasional di Jakarta dikumpulkan suatu koleksi naskah Bugis dari jenis ini dan nama Syeikh Yusuf sangat sering disebut dalam naskah-naskah tersebut.

5. Setelah Syeikh Yusuf wafat dan dimakamkan di Lakiung, Gowa, para pemujanya di Makassar memberi gelar kehormatan “Tuanta Salamaka” (Tuan kita yang terberkati), di Bugis di gelar “Petta Salama’e” (Raja yang selamat). Gelar-gelar tersebut mengandung simbol sakral, sehingga dia dijadikan tawasul dalam setiap permohonan hamba kepada Tuhannya.
      Untuk mengetahui sejauhmana penghormatan dan pemujaan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap Syeikh Yusuf, dapat dilihat dari praktek pemujanya ketika menziarahi makan Syeikh Yusuf di Lakiung Gowa yang terletak pada tonggal kilometer 8 dari Ujung Pandang ke Selatan, antara lain :
n Membawa kain putih untuk dihamparkan di atas makam Syeikh Yusuf.
n Membawa hewan (ayam, kambing atau sapi) untuk dilepaskan di sekitar makam, dan praktek-praktek lainnya yang cenderung berlebih-lebihan.
      Selain itu terdapat kelompok masyarakat yang tinggal di desa Antang Ujung Pandang dan desa Tetebatu Gowa yang masih sangat kolot. Mereka beranggapan bahwa Gowa sama derajatnya dengan Tanah Suci Makkah dan Madinah. Di atas puncak gunung Bawakaraeng (Gowa) terdapat Ka’bah, karena itu ketika shalat mereka menghadap ke Timur, arah gunung itu. Bagi mereka yang telah menziarahi gunung Bawakaraeng pada hari raya Idul Adha sama pahalanya dengan mereka yang pernah naik haji ke Makkah.
      Walaupun kelompok ini tidak banyak jumlahnya, tetapi sampai sekarang masih ada dan tetap mengaku penganut agama Islam yang taat. Upacara-upacara kepercayaan diselenggarakan secara berkelompok dan sembunyi-sembunyi. Setelah panen mereka bersama-sama menziarahi makam Syeikh Yusuf di Lakiung.

Tidak ada komentar: